Past Lives (2023) : Analisa Film

Wow, baru sadar ternyata sudah 2 tahun saya ga menulis di blog ini. Tapi kali ini saya kembali menulis lagi, itu artinya saya baru saja dibikin baper sebuah film. Dan film itu adalah.... Past Lives.

Past Lives adalah debut perdana Celine Song yang dirilis tahun 2023, yang sayangnya baru sempat saya tonton minggu lalu (saya masih ga menyangka bahwa ini film debut tapi bisa sebagus ini!!!). Dan film ini sukses bikin saya baper, bengong, dan melamun berhari-hari. Perasaan selepas menontonnya itu bahkan masih ada terus sampai 5 hari kemudian (am I too emotional? wkwk), dan mendorong seluruh impuls dalam diri saya untuk menuliskan seluruh perasaan ini. 

FIlm ini jelas meninggalkan kesan sentimentil mendalam di akhir cerita, kala tangis Nora (Greta Lee) pecah di pundak sang suami Arthur (John Magaro), selepas ia mengucapkan selamat tinggal pada Hae Sung (Tae Yoo) yang menaiki Ubernya untuk pulang. Tapi rasa sentimentil yang saya rasakan, tampaknya cukup berbeda dengan apa yang kebanyakan orang lain rasakan.

Celine Song sendiri pernah bilang dalam interviewnya, bahwa dia berharap setiap penonton yang menyaksikan Past Lives bisa memiliki pendapat dan resonansi pribadi yang mungkin berbeda dengan orang lain. Seseorang yang baru saja putus, mungkin akan memiliki penilaian yang berbeda dengan mereka yang baru saja menjalin hubungan. Mereka yang menjalin hubungan beberapa tahun, mungkin akan punya perspektif berbeda dengan mereka yg menjalin hubungan berpuluh-puluh tahun. Bahkan saya rasa orang yang sama, menontonnya di usia yang berbeda mungkin juga akan merasakan sesuatu yang berbeda. Dan saya rasa itulah yang membuat ambiguitas Past Lives begitu indah, film ini bisa menyentuh orang dengan cara yang berbeda. 

Saya rasa opening scene film ini menunjukkan intensi Celine Song tersebut. Sepasang kekasih sedang menggosipkan tiga orang di depan mereka (dua orang Asian, dan satu orang White American), yang sedang berbincang-bincang di sebuah bar. Sepasang kekasih yang bergosip tersebut adalah kita sebagai audiens, sibuk menduga-duga dinamika relasi yang ada di antara ketiga orang ini (Nora - Hae Sung - Arthur). Dan setiap orang punya perspektif berbeda yang mungkin beresonansi dengan diri mereka masing-masing. Apa yang orang lihat bisa saja menunjukkan pengalaman, harapan, dan kecemasan masing-masing.

Saya rasa kebanyakan orang (seenggaknya dari yang bersliweran di media sosial saya), memaknai bahwa inti film Past Lives adalah tentang keikhlasan menjalani takdir yang membuat sepasang manusia tidak bisa bersama (dalam hal ini Nora dan Hae Sung) karena menjalani hidup yang berbeda. Tangis Nora di akhir adalah sebuah tangisan duka masa lalu, klimaks emosi dari pertanyaan "what-if". dan perasaan cinta ga kesampaian yang selama ini mungkin terpendam. Past Lives adalah poetic film tenrang cinta sejati masa lalu yang menyusup kembali, mengingatkan kita kembali akan kenangan-kenangan indah itu dan membuat kita mempertanyakan bagaimana jika kita membuat keputusan yang berbeda dalam hidup kita? Apakah kita masih bisa bersama dengan cinta masa lalu kita?

Nah, apa yang saya rasakan dan saya "baca" dari Past Lives ternyata cukup berbeda dengan pembacaan kebanyakan orang. Ketika melihat Nora nangis (dan saya yang cengeng ini pun ikutan nangis sesenggukan), yang saya rasakan lebih ke nostalgic feelin'. Sebuah reaksi tubuh spontan yang terlalu campur aduk untuk dideskripsikan. Perasaan ini cukup janggal dan magis, seperti kita telah "diingatkan" kembali akan diri kita atau kenangan masa lalu setelah bertahun - tahun menjalani hidup dan mungkin diri pribadi yang berbeda. Rasanya lebih mirip seperti pulang reuni, ketemu crush atau mantan di masa lalu - yang mungkin akan membuat kita sedikit berdebar-debar dan happy, lantas sekilas membuat kita kepikiran "Ah, gimana yaa kalo aku jadinya end up sama dia?". Tapi pertanyaan itu bukan pertanyaan yang kita tanyakan secara serius. Itu hanya pertanyaan iseng dan santai, walau juga pertanyaan penting tentang hidup itu sendiri. Pertemuan dengan si crush/mantan ini semacam membuka "kotak kenangan" yang mengingatkan kita pada "diri kita" di masa lalu - yang mungkin masih naif, kekanak-kanakan dan bego. Pertemuan itu mungkin lebih ke nostalgia dengan diri kita sendiri dan masa lalu yang berlalu, daripada mengenang apalagi menyesali "cinta yang terlewatkan". Perasaan "rindu" yang kita bawa pulang setelah pertemuan itu adalah rindu yang hangat, haru dan sedikit sedih, tapi bukan rindu yang pedih nan tragic.

Pembacaan saya ini mungkin less dramatic yak, tapi ga berarti bahwa ini bukan sesuatu yang magical dan sama indahnya. 

Oke, sekarang mari saya jabarkan kenapa saya bisa punya pembacaan itu.

NORA - HAE SUNG - ARTHUR
(BUKAN) CINTA SEGITIGA

Apakah ini adalah cinta segitiga?

Sederhananya, menurut saya bukan sama sekali. Atau seenggaknya, mungkin tidak seperti yang kebanyakan orang pikirkan.

NORA KE HAE SUNG

Sedari awal, saya merasakan ada sedikit ketimpangan perasaan antara Hae Sung dan Nora. 

Saya merasa Hae Sung mempunyai perasaan yang lebih kuat ke Nora. Saat berusia 12 tahun, Hae Sung yang lebih sedih harus berpisah dengan Nora, lantas sedih dan menyesal karena tidak mampu mengucapkan "selamat tinggal" dengan baik. Dua belas tahun kemudian, ia yang lebih dulu mencari Nora. Dan 12 tahun kemudian, ia pula yang datang ke New York untuk menemui Nora yang sudah menikah.

Sementara Nora? Saat usia 20-an, Nora bahkan tidak langsung ingat siapa nama laki-laki yang ditaksirnya saat berusia 12 tahun. Setelah komunikasi intens lewat Skype pun, Nora pula yang lebih dulu mengakhiri hubungan mereka setelah menyadari jarak Samudra Pasifik terlampau luas untuk hubungan mereka. Dan tak lama kemudian, Nora pun sudah menemukan pria lain dan menikahinya. Bagi saya ini sudah clear bahwa Nora memang lebih pragmatis dan realistis dalam menjalani hidup dan mengambil keputusan. Ia merengkuh apa yang tersaji pada hidup yang ada di hadapannya. 

Ini semua hal yang manusiawi, mereka yang "pergi" biasanya lebih mudah melupakan karena disibukkan dengan kehidupan barunya. Dalam hal ini, itu terwujud pada Nora sebagai imigran yang berpindah negara hingga 2 kali. dan sibuk mengejar ambisi pribadinya sebagai penulis. Sedari kecil ia bahkan dengan sukacita embracing kehidupan barunya di luar Korea (ia memilih nama Inggrisnya sendiri dan excited belajar bahasa Inggris). Sementara Hae Sung sebagai yang ditinggalkan, masih tertinggal di tempat yang sama, dan merasakan ada "gap kosong" yang ditinggalkan Nora selepas Nora pergi. 

HAE SUNG KE NORA

Lantas, apakah Hae Sung benar-benar mencintai Nora?

Oh, apa itu cinta? 

Sesungguhnya saya dulu sempat berpendapat: cinta abadi adalah cinta yang ga kesampaian. Karena cinta itu tidak terwujudkan, dan selamanya skenario what-if akan menghantui kita. Tapi apakah itu benar-benar cinta? ataukah itu hanyalah proyeksi harapan akan ketidakpuasan kita terhadap hidup atau cinta yang sedang kita jalani?

Saya merasa Celine Song berusaha mendefinisikan cinta yang berbeda dalam sosok Hae Sung. Ya, Hae Sung "mencintai" Nora, namun cinta itu lebih seperti ke rasa adore dan idolizing (or idealizing?). Ada dialog dimana Hae Sung bercerita bahwa ia merasa dirinya menjalani hidup yang "ordinary". Itu artinya ia melihat Nora sebagai sosok perempuan yang menjalani hidup yang extraordinary: meninggalkan negaranya untuk menjalani kehidupan yang jauh berbeda dan berani mengejar ambisinya. Bentuk cinta Hae Sung lebih dominan pada ke kekaguman, dan mungkin semacam eskapisme - karena perasaan ini tampaknya muncul kala ia sedang merasa kesepian (saat wamil, atau saat baru putus).

Saya rasa bukan tanpa alasan Celine Song menyisipkan film Eternal Sunshine of The Spotless Mind di film ini. Ini bukan sekedar reference indie film buat keren-kerenan, tapi tampaknya Past Lives berusaha melanjutkan tema besar film tersebut. Tidak hanya ide besar tentang betapa sia-sianya menghapus masa lalu karena itulah yang membentuk kita, tapi juga tentang relasi Joe (Jim Carrey) dan Clementine (Kate Winslet) di film tersebut. Ada dialog yang nyantol banget di kepala saya, ketika Clementine ngamuk karena Joe "mengidealisasikan" sosok Clementine (anw, ini bagian dimana Charlie Kaufman berusaha "mendobrak" pakem Manic Indie Pixie Dream Girl). Quotes film tersebut:

"Too many guys think I'm a concept, or I complete them, or I'm gonna make them alive. But I'm just a f***ed-up girl who's lookin' for my own peace of mind; don't assign me yours".

(Btw, kalau kamu lagi kurang kerjaan, mungkin kamu bisa baca tulisan saya delapan tahun yang lalu tentang Manic Pixie Dream Girl).

Saya rasa Hae Sung tak jauh berbeda dari Joe. Ia mengidealisasikan Nora untuk melengkapi dirinya. Walau begitu, Hae Sung sadar diri, ia tahu batasan, mengakui peluang kecil di antara mereka berdua, sehingga sedari awal saya rasa ia memang tidak berusaha benar-benar "mengejar" Nora. Tapi Hae Sung tampaknya tetap terjebak pada bayangannya akan sosok Nora. Mereka tuh 24 tahun ga bertemu lho, dan hanya kontak-kontakan sebentar saat mereka berumur 24 tahun, bagaimana mungkin Hae Sung masih "mengenal" Nora? Yang ia "cintai" adalah sosok Nora yang membeku dalam ingatannya. 

Perhatikan bagaimana Hae Sung berulang kali bilang kepada Nora, "Ah kamu masih persis seperti yang aku ingat,". Emangnya iya?

Hae Sung tidak "mengenal" Nora selama dua dekade, ia tidak tahu bagaimana Nora tumbuh dewasa. Ia hanya memaksakan ingatannya sendiri menjadi kenyataan. Coba simak kembali bagaimana percakapan Nora dan Hae Sung tentang hadiah apa yang ingin Nora kejar (Nobel/Pulitzer/Tony) saat ini. Nora DUA KALI GA LANGUNG INGAT dengan arah percakapan tersebut, tapi setelahnya Hae Sung bilang bahwa Nora persis seperti yang ia ingat.

HAE SUNG, ARTHUR DAN MASKULINITAS

Ada detail subtil yang menarik untuk diulik tentang bagaimana Celine Song menggambarkan kedua lelaki ini. 


Dalam dua momen terpisah, satu saat Nora masih kecil dan kedua saat ia ngobrol santai dengan Arthur, Nora mendeskripsikan Hae Sung dengan kata masculine/manly. Dan saya rasa demikianlah bagaimana Celine Song mencoba menggambarkan Hae Sung yang diperankan Tae Yoo: a "traditional" manly man. Dari cara Celine Song menyorot Hae Sung, kita lebih sering melihat Hae Sung dalam posisi tegap, dan angle-angle simetris. Gestur Hae Sung tampak lebih kaku, lebih tertutup, dan pemalu. Kita juga melihat bagaimana Hae Sung mengkomunikasikan cintanya: "dengan menyuruh Nora makan atau menanyakan sudah makan atau belum" (saya tuh baru ngeh lho kalau ini love language yang sangat khas Asian hahaha). 

Arthur, di lain sisi menggambarkan kekontrasan itu. Kita melihat ia lebih "soft", posisi tubuhnya lebih sering membungkuk, pakaiannya cenderung lebih tidak rapi, raut wajah yang lebih sendu, dan gambar-gambar yang menyorot dirinya lebih sering dalam angle yang lebih dekat. Ada adegan dimana Arthur memeluk Nora di tempat tidur, dengan cara yang agak aneh dan tidak terlalu maskulin (?) (mirip pose John Lennon memeluk Yoko Ono dalam sampul Rolling Stones yang difoto Anna Leibovitz). Arthur mungkin tipe cowok yang lebih mirip.... performative male? haha.

Melalui beberapa hal ini, Celine Song sepertinya sedang mencoba untuk menggambarkan Hae Sung sebagai identitas masa lalu Nora dan Arthur sebagai identitas Nora saat ini. Kalau Nora 12 tahun ditanya gimana tipe cowok idamannya, dia akan menjawab bahwa tipe cowoknya ya seperti Hae Sung. Kata "manly" adalah kata sederhana yang dipakai anak 12 tahun untuk menggambarkan cowok idamannya (sebagaimana saya 12 tahun kalo ditanya tipe cowok pasti jawab: anak basket!). Tapi waktu berlalu, hidup Nora berubah, dan pandangan Nora akan lelaki yang ia cari dan butuhkan pun berubah. Kini ia mencari sosok seperti Arthur, yang bisa melengkapi dan memperkaya hidupnya, sebagai manusia dan juga sebagai penulis. 

Anyway, coba perhatikan gambar di atas, ketika Nora dan Hae Sung duduk di depan komidi putar. Komidi putar melambangkan dunia masa kecil mereka, dan cara duduk keduanya menggambarkan perbedaan keduanya: Hae Sung lebih sopan dan kaku, sangat khas Korean, sementara Nora duduk lebih rileks dan santai (lebih seenaknya), sangat American.

KENAPA SIH GA ADA ADEGAN ADU JOTOS?

Pasti lebih seru yaa kalau ada adegan cowok-cowok pukul-pukulan memperebutkan perempuan. Saya sendiri juga mau donk direbutin kayak Helen of Troy atau Ken Dedes wkwk. Tapi syukurlah Hae Sung dan Arthur adalah dua lelaki dewasa. Saya menangkap dari apa yang dikatakan Celine Song dalam interviewnya, bahwa keduanya bisa berlaku dewasa dan ga jotos-jotosan adalah bentuk kekuatan sejati sebenarnya - yang sangat... maskulin?. Keduanya menyadari bahwa ada dua keping dalam diri Nora yang mereka saling pegang masing-masing: Nora masa lalu dan Nora masa kini. Dan mereka memahami dan menerima situasi itu tanpa perlu "adu kepemilikan". Ini butuh kekuatan hati yang jauh lebih besar daripada dua lelaki berantem ngerebutin satu cewek. (Btw, out of context, saya jadi ingat film Y tu Mamá También-nya Alfonso Cuaron yang sedikit banyak membahas perspektif "kakanak-kanakan" dua cowok remaja memperebutkan satu wanita).

NORA & ARTHUR


Saya kira perbedaan mendasar pandangan antara yang saya dapat dan kebanyakan orang mengenai film ini dimulai dari perbedaan cara pandang melihat hubungan Nora & Arthur. 

Nora & Arthur tampak seperti dua pasang suami istri yang lempeng, kurang bergairah. dan mungkin sedikit tidak biasa karena membicarakan mantan Nora dengan sebegitu gamblangnya. Setelah bertemu Hae Sung dan menyadari niat Hae Sung dateng ke New York itu bukan pergi liburan tapi khusus menemui Nora, ingat apa yang Nora lakukan? Ia pulang ke apartemen, langsung duduk di sebelah suaminya Arthur yang lagi main video games, dan bercerita terus terang. Mereka bahkan ngobrol blak-blakan tentang apakah Nora tertarik pada Hae Sung (yang dijawab Nora agak ragu dan "muter-muter"). Nora juga mengungkapkan dalam kalimat yang sedikit ambigu dan ngejokes untuk menjelaskan bahwa ia ga ada apa-apa dengan Hae Sung, "I'm not going to miss my rehearsals for some dude". Atau kala Nora hanya menjawab singkat "Me too" saat Arthur mempertanyakan apakah Arthur bisa memperkaya hidup Nora seperti Nora memperkaya hidupnya. 

Jawaban-jawaban itu mungkin bukan sesuatu yang kita - penonton harapkan dari Nora. Kita berharap Nora akan menjawab dengan tegas, "Sumpah, Arthur! Aku hanya bisa mencintaimu selamanya! Hanya Engkaulah satu-satunya dalam hidupku, kaulah kebahagiaanku, kaulah cinta sejatiku bukan mantanku ituuuuu percayalaaaahh sayangku kekasihku....". Lalu mereka bercinta untuk memvalidasi pernyataan itu. Yes, pernyataan tegas itu mungkin akan sangat romantis kita saksikan di film (walau dialognya pasti harus diperhalus biar ga berasa norak), tapi bukan seperti itu dua orang normal yang sudah lama menjalani hubungan akan berkomunikasi dalam realita sesungguhnya. Mungkin sebagian orang (dan juga saya pada awalnya). salah menilai hubungan tersebut sebagai less emotion atau tidak bergairah hanya karena keduanya tidak tampak seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Tapi saya rasa ini cara Celine Song menggambarkan koneksi "romantis" yang ia punya di kehidupan nyata. 

Saya bisa melihat Nora & Arthur punya hubungan yang sangat secure. Love language mereka adalah saling membicarakan semuanya dengan terbuka, bisa menjadi vulnerable dan menjadi diri sendiri. Keterbukaan dan koneksi yang dimiliki keduanya (misal saat mereka pillowtalk), sungguh bagian penting yang tidak hanya penting bagi mereka sebagai dua orang pribadi yang menjalin hubungan - tapi juga memperkaya mereka sebagai artist/writer. Hal-hal yang tampak mundane ini mungkin mengecoh kita karena kita berharap hubungan normal yang sering kita lihat di film-film adalah hubungan cinta yang menggebu-gebu dengan kata-kata romantis dan dramatic gesture. Ya, itu semua memang asyik (saya juga mauuu!), tapi realita kan ga seperti itu. Atau seenggaknya, hubungan Nora dan Arthur nggak romantis dengan cara itu. Tapi Nora dan Arthur ini sebenarnya SUDAH SANGAT ROMANTIS dengan cara mereka sendiri. 

Insecurity Arthur memang juga cukup beralasan (Arthur bilang, "In the story, I would be the evil white American husband standing in the way of destiny"). Entah seperti apa Nora akan menanggapi hal tersebut (di film ini Nora menjawab dengan sedikit tidak tegas - ia mungkin bukan karakter yang bisa mengekspresikan cintanya dengan rayuan gombal), tapi reaksi Arthur lebih menentukan kedewasaan hubungan mereka. Bukan jawaban Nora yang penting, tapi bagaimana Arthur melawan kecemburuan ini. Terlepas rasa insecure yang ia rasakan, ia memilih untuk.... percaya pada Nora. Ia mengenal istrinya, dan percaya pada Nora dan hubungan yang telah mereka miliki selama ini. Dan ini salah satu pondasi bagaimana hubungan yang sehat bekerja. Kita ga membiarkan kecemburuan merusak penilaian kita. (Walau mungkin.... ga semua hubungan seperti ini yaa haha. Saya sih jelas ga sedewasa mereka berdua!).

INYEON

Satu hal yang menarik lagi: Inyeon. Inyeon menjadi "kepercayaan" Korea yang diromantisir di dalam film ini, dan entah kenapa, banyak orang mengasosiasikan Inyeon ini dengan hubungan Hae Sung dan Nora. Menariknya, tahu ga kapan pertama kali kata ini diucapkan di film ini? Saat Nora bertemu dengan Arthur!

Inyeon rupanya bukan eksklusif milik Nora dan Hae Sung, tapi juga Nora bersama Arthur. Ketika Hae Sung punya gagasan Inyeon yang lebih romantis dengan berandai-andai bagaimana jika ia punya takdir berbeda yang bisa menyatukan dirinya dan Nora - Nora malah lebih santai mempercayai ini sebagai "kepercayaan" Korea belaka yang JUSTRU digunakannya untuk merayu Arthur di pertemuan mereka saat residensi menulis. 

MAKNA PERJUMPAAN & PERPISAHAN NORA & HAE SUNG


Terlepas dari itu semua, bukan berarti kehadiran Hae Sung tidak memberikan arti bagi Nora - dan di luar dugaan, juga bagi Arthur. 

Ingat dialog yang diceritakan Nora ke Arthur tentang pengalaman pertemuannya ini?

"It's so crazy to see him be this grown-up man with a normal job and a normal life. He's so Korean. He still lives with his parents, which is really Korean. And he has all these really Korean views about everything. And I feel so not Korean when I'm with him. But also, in some way, more Korean? It's so weird. I mean, I have Korean friends, but he's not, like, Korean-American. He's Korean-Korean."

Kehadiran Hae Sung (menurut saya) membuka kembali semacam "korean box" yang ada di diri Nora, yang bahkan tidak ia sadari masih ada setelah dua puluh tahun tinggal di luar negeri. Ia tampaknya terlalu embracing identitas barunya sebagai imigran yang bertahan hidup di negeri asing, yang membuatnya hanya berbicara bahasa Korea dengan ibunya atau kala tidur dan mengigau (yang ia bahkan ga pernah sadar sampai Arthur cerita). Kehadiran Hae Sung rupanya tanpa ia sadari membuka "kotak" itu, membuatnya ia kembali mengingat bahwa ia pernah menjadi Na Young - gadis kecil ambisius dan cengeng yang hidup di Seoul. Ia nyaris melupakan itu semua hingga Hae Sung muncul di hadapannya, dan mengingatkan kembali bahwa ada seorang lelaki yang pernah mencintai gadis kecil tersebut. 

Saya rasa ini "rasa" utama yang ingin dibawa Celine Song lewat film ini, terutama karena ia sendiri adalah seorang imigran. Setelah kita sibuk menjalani hidup yang kita jalani saat ini, lalu bertemu dengan orang dari masa lalu yang membuka segala kenangan itu - mengingatkan bahwa kita pribadi pernah berusia belasan tahun, dan ada seseorang yang pernah mencintai kita pada masa itu dan juga kala itu kita sayangi, bukankah itu sesuatu yang sungguh berarti? 

(Anyway, Celine Song membuat Past Lives memang karena ternspirasi dari momen dimana ia duduk bersama suami dan childhood sweetheart-nya ini di bar di East Village NY. Ia mencoba menerjemahkan bahasa korea dan inggris ke keduanya dan menyadari bahwa ia ga hanya mencoba menjembatani  pembicaraan mereka dalam dua bahasa, tapi juga dalam dua masa: antara dirinya di masa lalu dan dirinya di masa sekarang. Celine Song bilang ada sesuatu yang "magis" tentang hal itu, dan sungguh Celine Song bisa membawakan perasaan magical yang ia maksud itu itu dalam film Past Lives ini! Huhuhu aku padamu, Celine Song!). 

Dalam sebuah interviewnya, Celine Song juga bilang bahwa final scene di Past Lives adalah kesempatan ketiga bagi Nora dan Hae Sung untuk saling mengucapkan selamat tinggal dengan baik. Ini mungkin memang bukan perpisahan yang ideal nan dramatis, keduanya hanya saling bertatap-tatapan dalam hening dan kecanggungan - yang mungkin bikin penonton juga jadi gemas-gemas sendiri, tapi bukankah hidup emang jarang memberikan "grand closure"? Dan bagi Hae Sung dan Nora, perpisahan ini sudah cukup.

Bagi Hae Sung, ini merupakan kelegaan karena ia akhirnya bisa mengucapkan selamat tinggal dengan baik. Mungkin ada penyesalan tertinggal karena saat mereka berusia 12 tahun, mereka hanya bisa mengucapkan casual bye-bye, selayaknya anak 12 tahun yang memang belum bisa memahami arti perpisahan dan merilis emosi. It's a really closure for him - dan mungkin untuk anak laki-laki 12 tahun yang juga masih ada dalam dirinya, yang akhirnya setelah 24 tahun bisa melihat Nora lagi, dan menyadari bahwa Nora telah menjadi Nora yang berbeda dari yang terpatri dalam ingatannya. 

Sementara bagi Nora, tak hanya ia bisa mengucapkan selamat tinggal bagi seseorang yang pernah berarti di masa kecilnya, tapi juga dirinya di masa lalu - gadis kecil 12 tahun yang ambisius dan cengeng. Setelah menjalani hidup yang berbeda dan tumbuh dewasa sebagai seorang Korean di luar negeri asalnya, Nora mungkin tidak pernah menyangka bahwa ternyata ia juga membutuhkan proper good bye untuk dirinya sendiri di masa lalu. Kehadiran Arthur yang menunggu di depan apartemen mereka (duh ini so sweet banget banget banget), membuat Nora menyadari realita yang ia punya saat ini: bersama Arthur. Tangisan di akhir adalah pelepasan emosional itu: sedih, rindu, syukur, bahagia, lega, semua campur aduk jadi satu. Dan SEKALI LAGI INI BUKAN TANGISAN PENYESALAN ATAU KEHILANGAN CINTA MASA LALU yang tidak mungkin terjadi. Saya lebih melihat tangisan Nora adalah lebih ke tangisan tentang hidup itu sendiri: bahwa begitulah waktu telah berlalu, hidup berjalan, dan diri kita telah tumbuh. Dan saya yakin Nora bersyukur Hae Sung pernah menjadi bagian hidupnya, dan bersyukur Arthur adalah bagian hidupnya saat ini. 

Adegan Nora di bagian akhir ini, dimana kamera mengikutinya berjalan dengan pemandangan gedung-gedung apartemen dan jalanan khas New York, adalah metafora dan simbol yang Celine Song ingin sampaikan: Nora tengah berjalan dari masa lalu ke masa kini/masa depan. Dan di sana, ada Arthur - realitas masa kininya, yang sedang menantinya. Huhu, adegan ini luar biasa cantiknya. 

Bagaimana dengan Arthur?

Walau awalnya insecure dengan kedatangan cinta masa lalu dari hidup Nora, tetapi Arthur pun menyadari bahwa kehadiran Hae Sung juga memberikan sesuatu yang dibutuhkan Arthur. Ingat adegan dimana mereka di bar dan Arthur tampak sedih karena dia ga diajak ngobrol Nora dan Hae Sung yang asyik ngobrol dalam bahasa Korea? Scene itu menggambarkan kesadaran, kesedihan dan mungkin sedikit kecemburuan Arthur, bahwa ada sisi yang memang tidak bisa ia benar-benar pahami dari Nora: masa lalu Nora dan identitas Nora sebagai orang Korea. Sisi yang lebih bisa dipahami Hae Sung. Tapi kehadiran Hae Sung pada akhirnya sedikit membuka kotak Nora yang tersimpan itu, dan untuk pertama kalinya Arthur akhirnya bisa mengintip isi kotak itu: a crybaby little girl. Dan ya, gadis kecil itu menangis dalam pelukannya. Bagi Arthur, itu membantunya untuk bisa mencintai Nora dengan lebih utuh 

MY OWN REFLECTION

Ending film ini disusun sedemikian cantik hingga membuat saya ikutan menangis dan baper sampai sekarang - lebih dari seminggu setelah saya nonton! Tapi saya butuh waktu agak lama untuk menyadari apa yang sebenarnya membuat saya sampai sebegitunya tersentuh. Oke, perasaan pertama yang saya rasakan kala itu memang bukan ke perasaan sedih karena kehilangan cinta di masa lalu - tapi betul-betul lebih ke perasaan sedih-haru akan nostalgia. Dan kemudian saya menyadari bahwa yang bikin saya tersentuh adalah....... KEHADIRAN ARTHUR yang lagi duduk nungguin Nora. Saya tuh ga nangisin Hae Sung, saya nangisin Arthur.

Ini membuat saya menyadari betapa saya mensyukuri... realita hidup saya saat ini? 

Banyak film romance dengan makna mendalam yang sayangnya kebanyakan ditulis oleh penulis laki-laki (misalnya (500) Days of Summer, Her, atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind), dan membuat saya kadang agak susah untuk bener-bener "melebur" dalam perjalanan karakternya. Tapi naskah film ini ditulis seorang perempuan, dengan kepekaan yang luar biasa, dan saya ga tahu ini pasti saya kepedean atau gimana haha, tapi saya bisa mengasosiasikan diri saya dengan Nora. Dan tentu saja saya memproyeksikan Arthur pada diri suami saya. Dan sedikit banyak, saya melihat koneksi saya dan suami mirip dengan koneksi Nora & Arthur (tapi tentu saja saya versi Nora yang lebih jamet, cerewet, dan lebih kekanak-kanakan dan suami kayaknya bukan tipikal cowok sesensitif Arthur). 

Saya dan suami tuh bisa ngobrolin apapun. Dari hal sepele macam musik, film, makanan, masakan, kerjaan, politik, parenting, julidin orang, sampai hal-hal yang filosofis dan kontemplatif, dan bahkan ketakutan kita masing-masing. Padahal kita hidup 24 jam bersama (apalagi kita kerja bareng), tapi kayak ga pernah kehabisan bahan obrolan. Suami tuh kayak bisa memahami otak saya yang chaos dan serba melompat-lompat kalau mikir. Sebagaimana Nora, saya juga tipe yang bisa ngobrolin mantan saya atau gebetan masa lalu dengan santai ke suami saya. Saya bahkan maksa suami untuk menonton film Past Lives juga supaya kita bisa ngobrol panjang lebar soal ini. Dan di titik inilah saya menyadari apa yang dikatakan Arthur tentang bagaimana Nora telah memperkaya dirinya itu juga terjadi pada hubungan saya dan suami. 

Saya tuh suka menulis dari kecil, tapi ga pernah merasa bahwa hobi menulis ini adalah hal yang penting. Ya, ini bagian dalam diri ini, tapi saya sering merasa ini bukan sesuatu yang berharga apalagi diseriusin. Sampai saya ketemu.... suami saya. Dan entah bagaimana, hobi menulis di blog yang bagi saya cuma aktivitas kurang kerjaan ini terasa "berharga" dan menarik di matanya (mungkin dia orangnya agak aneh juga sih haha). Dan saya untuk pertama kalinya, merasa dihargai untuk sesuatu yang merupakan bagian dalam diri saya - yang saya kira sebelumnya bukan bagian menarik, yang bahkan saya sendiri tidak cukup berani dan percaya diri untuk menghargai ini. Dan dengan suamilah saya bisa ngobrol banyak hal, dan DIA MEMPERKAYA tulisan saya. Seluruh perasaan ini membuat saya merasa betapa beruntungnya bisa dicintai dengan "utuh", sebagaimana Nora dicintai Arthur.

Ga ada perasaan yang lebih indah daripada menyadari kita dicintai, dan saya rasa ini salah satu hal yang ingin Celine Song sampaikan: how beautiful to be loved in the past, and to be loved in the present. 

TAPIIIII....

Ketika saya ngobrolin hal ini dengan suami, dan dalam universe saya, saya adalah Nora dan dia adalah Arthur... ternyata sialannya suami juga bisa related dengan perasaan-perasaan yang dimiliki Hae Sung (ia memahami bagaimana Hae Sung bisa merelakan tidak bisa memiliki perempuan yang ia kagumi dari jauh). Jadi, di semesta suami, dia adalah Hae Sung....? Jadi saya sebenarnya lebih ke Arthur? Jadi siapa Nora dalam universe suamiiikkk??? Hmmmmm ~


Komentar