The Master (2012) (4,5/5)


"If you figure a way to live without serving a master, any master, then let the rest of us know, will you? For you'd be the first person in the history of the world."

RottenTomatoes : 86% |  IMDb: 7,1/10 | Metascore: 86/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : R | Genre : Drama

Directed by Paul Thomas Anderson ; Produced by JoAnne Sellar, Daniel Lupi, Paul Thomas Anderson, Megan Ellison ; Written by Paul Thomas Anderson ; Starring Joaquin Phoenix, Philip Seymour Hoffman, Amy Adams ; Music by Jonny Greenwood ; Cinematography Mihai Mălaimare Jr. ; Edited by Leslie Jones, Peter McNulty ; Production company JoAnne Sellar ; Productions Ghoulardi Film Company, Annapurna Pictures ; Distributed by The Weinstein Company ; Release date September 1, 2012 (VFF), September 14, 2012 (United States) ; Running time 137 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget US$32 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Freddie Quell (Joaquin Phoenix) baru kembali dari perang ketika kemudian ia bertemu pemimpin kelompok The Cause, Lancaster Dodd (Phillip Seymour Hoffman).

Review / Resensi :
Jika disuruh menyebutkan salah satu sutradara terbaik saat ini, saya rasa banyak yang akan menyebutkan Paul Thomas Andeson (PTA) sebagai salah satunya. Sepanjang karirnya selama 20 tahun, PTA baru menghasilkan 8 film - bukan jumlah yang relatif banyak, tapi hampir semuanya disukai kritikus. Walaupun begitu, buat saya sendiri film-film PTA terlalu "advance" untuk benar-benar bisa saya pahami dengan level otak saya yang begini. Saya tidak pernah terlalu memfavoritkan doi, daftar sutradara favorit saya masih sebatas Coen Brothers, Jason Reitman, Noah Baumbach, Wes Anderson dan Quentin Tarantino. Mereka artsy dan critically-acclaimed director juga, tapi at least saya masih paham dan bisa menikmati nonton film-film mereka. Tapi kalau disuruh milih antara PTA atau Terrence Malick dan David Lynch, saya jelas lebih memilih PTA. Saya nyerah kalau disuruh nonton film The Tree of Life!

The Master adalah film keempat doi yang saya tonton setelah Punch Drunk Love (2002), There will be Blood (2007) dan Magnolia (1999). Kesan yang saya dapatkan setelah menonton ini adalah... nggak mudheng. Saya paham sih The Master adalah film yang begitu indah, artistik dan filosofis. Tapi secara keseluruhan, saya sulit untuk menangkap apa yang sebenarnya hendak disampaikan PTA lewat film ini. Dan keluhan saya ini juga jadi salah satu keluhan yang diungkapkan para kritikus dunia lainnya, dan terutama... penonton awam yang tentu akan malas sekali menonton film-film model mikir. Kalau kamu cari hiburan lewat film, The Master jelas bukan salah satunya. Tapi kalau kamu cari film yang rada filosofis dengan studi karakter yang baik, maka The Master adalah salah satu rekomendasi film yang tepat.

Saya awalnya ga berencana untuk bikin ulasan film ini karena ga mudeng. But then again... setelah nonton film ini saya jadi kepikiran terus. Ini model film yang kamu harus nonton lebih dari satu kali untuk bisa paham detail-detail kecil yang tampak "tidak penting" tapi sebenarnya menjadi unsur signifikan yang menyusun puzzlenya. Cuma saya uda ngebayangin bakal males dan berat banget kalau saya disuruh menghabiskan dua jam lebih untuk nonton ulang.... walaupun, pada akhirnya tetap saya lakukan juga..... *Haha. Biarpun tetap saja ada beberapa scene yang saya lompati. Dan beneran, menonton film ini untuk kedua kalinya bikin saya jadi lebih sensitif dan peka untuk menangkap apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh PTA. Lalu apakah saya akhirnya paham? Ya nggak juga. HAHAHA. Tapi ijinkan saya mengungkapkan opini saya tentang analisis The Master lewat artikel berikutnya ya. 

(Anyway, sutradara model PTA, Stanley Kubrick, atau David Lynch, gini agak nyebelin ga sih? Mungkin mereka bikin film yang sebenarnya jelek, tapi atas nama seni dan kita tahu mereka sebenarnya sutradara jenius, maka film yang jelek tadi tiba-tiba dianalisa dan diinterpretasi sedemikian rupa sehingga akhirnya keliatan sebagai masterpiece. Ya ga sih.)

Sebenarnya yang membuat film ini terasa berat dan membingungkan adalah karena PTA mengambil adegan demi adegan yang sifatnya seperti sekedar potongan-potongan cerita. Antara satu adegan dan adegan lainnya seperti tidak dalam alur narasi yang hubungannya gampang untuk dicerna. Belum lagi alurnya yang cenderung pelan dan agak membosankan. Untuk memahami filmnya, kamu juga harus peka terhadap dialog, gestur, dan ekspresi yang diungkapkan oleh karakter-karakternya. Belum lagi ketika PTA juga menyisipkan adegan-adegan berupa mimpi dan nostalgia, yang membuat kita agak susah paham juga mana yang beneran mana yang mimpi. PTA tidak pernah terlalu eksplisit dalam menerangkan maksudnya, secara implisit ia hanya menyampaikan maksudnya lewat bagaimana ia mengambil gambar, potongan dialog, ekspresi para karakter, dan lagu yang dimainkan.

Biarpun mengambil tema tentang cult The Cause yang kerap disamakan dengan Scientology (karena emang ada miripnya, seperti metode mereka serta setting film ini pada tahun 1950-an yang juga menjadi tahun bermulanya Scientology yang dibentuk oleh L. Ron Hubbard), bagi saya pribadi film ini sendiri sifatnya lebih ke studi perkembangan karakter sang tokoh utama, mantan tentara Freddie Quell (Joaquin Phoenix). Freddie Quell adalah kepribadian yang tidak stabil: ia tidak bisa mengontrol emosinya, alkoholik, dan frustasi secara seksual. Dalam pencariannya menuju kestabilan hidup dan mencari tujuan hidup lagi setelah pulang perang, ia kemudian bertemu Lancaster Dodd (Phillip Seymour Hoffman), seorang pemimpin sebuah sekte The Cause. Relasi yang unik kemudian terbentuk di antara keduanya. 

Freddie Quell adalah karakter yang sama menariknya dengan Daniel Plainview di There Will Be Blood. Kayaknya PTA memang punya hubungan khusus deh dengan karakter-karakter "sakit" semacam ini. And God.... akting Joaquin Phoenix sangat luar biasa. Senyumnya, sorot matanya, gaya bicaranya, hingga gestur tubuhnya. Improvisasinya saat adegan di dalam penjara ketika ia menghancurkan toilet adalah bukti gimana gilanya Joaquin Phoenix menjiwai karakternya. Phillip Seymour Hoffman juga sempurna dalam memerankan Lancaster Dodd yang begitu karismatik dan menyenangkan ketika sedang "ceramah", namun sbenarnya juga punya masalah yang sama dalam mengontrol emosi dengan Freddie. Duet keduanya dalam sequence long take saat Freddie diwawancarai oleh Lancaster dan adegan dalam penjara itu sangat intens dan menarik. One of the best sequence I've ever saw. Oh ya, dan film ini juga punya Amy Adams yang biarpun karakternya tidak terlalu dieksplor, namun sekedar melalui sorot mata dan ekspresi wajahnya memang sudah layak membuatnya meraih nominasi Oscar. Ketiga cast ini memang sangat luar biasa dan menjadi nyawa film ini. 

Selain itu, yang paling saya suka dari film ini juga adalah betapa cantiknya setiap gambar yang diambil. Saya sebenarnya sudah merinding banget waktu awal nonton trailernya, begitu cantik dan mempesona... Biarpun pada akhirnya saya nunda lama banget untuk nonton film ini karena tahu kalau ini film bakal bikin kepala saya pusing. Film ini makin spesial karena PTA menggunakan kamera Panavision 70 mm (dan sejujurnya saya ga tahu ini jenis kamera apaan), dimana katanya selama 16 tahun tidak ada yang menggunakan jenis kamera ini lagi. Belakangan, Quentin Tarantino lewat The Hateful Eight (2015) dan Christoper Nolan lewat Dunkirk (2017) menggunakan pilihan kamera yang sama. Saya juga suka teknik long take yang dipilih PTA, dan sinematografi yang luar biasa cantiknya dari Mihai Malaimare Jr. Lalu semuanya makin menjadi kesempurnaan artistik dengan iringan musik dari Johnny Greenwood, si jenius gitaris Radiohead yang emang sering bekerjasama dengan PTA (dan ngomong-ngomong, beberapa video klip terbaru Radiohead juga disyuting oleh PTA). 

Overview :
Mungkin bukan karya terbaik dari PTA dan sedikit underrated pada tahunnya, namun atas nama seni, The Master adalah sebuah film yang begitu indah dan mengesankan. Sinematografinya cantik dan menawan sekali di mata, dalam tone gelap yang sedikit dark-depresif ala PTA, dengan iringan musik juara dari Johnny Greenwood. Saya suka bagaimana PTA selalu punya tokoh-tokoh dengan karakter menarik dalam setiap filmnya, dan The Master adalah salah satunya. Syukurlah ketiga cast utama bermain dengan sangat baik: Phillip Seymour Hoffman, Amy Adams, dan terutama Joaquin Phoenix yang gila banget aktingnya di sini. Mungkin ceritanya sedikit membingungkan karena PTA tidak pernah terlalu eksplisit menyampaikan maksudnya, but hell yeah sure it's one of the 21st century movie you must see. 

Komentar

  1. Bicara tentang Joaquin Phoenix ada satu film baru iyg indie arthouse mirip banget sama film the master ini yg mungkin saya recomend buat mba niken karena tentang studi karakter dan yaa membingungkan, saya nontonnya krena ngecek di rottrn tomatoes tinggi ttus dipuji kritikus (saya tahu bahwa film ini tipikal yg bakal ga saya mngerti) tapi gaya"an mau nontonnya, dan yaa akhirnya emang gapaham dan bosen parah smpe endingnya, yg bisa dinikmati cuma akting Joaquin yg sangat gilak, judul nya You Were Never Really Here sutradara nya Lynne Ramsay (dan mnurut kritikus bisa jadi pnerus PTA)

    BalasHapus
  2. Nice write mba niken. Banyak adegan2 yg masih belum saya pahami esensinya, seperti saat pengobatan Freddie bolak-balik kaca-dinding, dan apakah berhasil dampaknya dirasakan oleh doi. Yg saya tangkap dari film ini di akhir Freddie tidak pernah benar-benar memutuskan untuk menyembuhkan diri, menikmati 'penyakit'nya dan terus mengembara tanpa master. Ada koreksi mungkin? Terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!