The Wailing (Gokseong) (South Korea, 2016) (4,5/5)


"Not everything that moves, breathes, and talks is alive," 

RottenTomatoes: 98% | Metascore: 81/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: R
Genre: Mystery & Suspense, Thriller, Horror

Directed by Na Hong-jin ; Produced by Suh Dong-hyun, Kim Ho-sung ; Written by Na Hong-jin ; Starring Kwak Do-Won, Hwang Jung-Min, Chun Woo-Hee ; Music by Jang Young-gyu ; Cinematography Hong Kyung-pyo ; Edited by Kim Sun-min ; Production company Side Mirror, Fox International Production Korea ; Distributed by 20th Century Fox Korea ; Release dates May 12, 2016 ; Running time 156 minutes ; Country South Korea

Story / Cerita / Sinopsis:
Jong-gu (Kwak Do-won) adalah seorang polisi lokal di sebuah desa di pegunungan di Korea Selatan. Sejak kedatangan seorang pria Jepang misterius, kejadian-kejadian aneh terjadi di desanya dan Jong-gu harus menyelidikinya.

Review / Resensi :
Waktu kecil saya suka banget baca komik serial misteri. Salah satu pengarang komik serial misteri favorit saya adalah Chie Watari (yang suka baca komik punya Elex Media dan besar di tahun 90-an pasti pernah baca komiknya). Komik Chie Watari begitu melekat di ingatan karena cerita dan gambarnya aslik horror, serem, terasa realistis, dan bikin mimpi buruk. Menonton The Wailing ini mengingatkan saya kepada komik-komiknya, sebuah nostalgia manis (dan ngeri) dalam bentuk film. Disutradarai oleh Na Hong-jin (The Chaser, The Yellow Sea), The Wailing tak ragu lagi bisa disebut sebagai salah satu film Korea Selatan terbaik tahun ini, dan bisa jadi film horror terbaik tahun ini. Ceritanya mengikuti seorang polisi Jong-gu (Kwak Do-won) yang harus menyelidiki kejadian-kejadian aneh di desanya - pembunuhan sadis, penyakit aneh, dan "zombie"? - sejak kedatangan seorang pria Jepang misterius. 

Satu hal yang saya sukai dari perfilman Korea Selatan adalah nilai otentiknya, setidaknya dari beberapa film Korsel yang pernah saya tonton, seperti Memories of Murder (2003) atau Mother (2009). Daripada bikin film yang muluk-muluk (contohnya film Indonesia yang ceritanya sampah yang penting syuting di luar negeri), film Korea Selatan suka memasukkan unsur otentik dan kekhasan dalam film-film mereka (err anyway I'm not talking about their Korean drama. I used to loved K-Pop and Running Man but I never really love their K-drama). Hal inilah yang saya rasakan juga ketika menonton The Wailing, kala kita mengikuti kisahnya yang digulirkan di sebuah pedesaan "sederhana" bernama Goksung. Tidak ada film horror yang lebih seram dari film yang memberikan pengalaman kemiripan dengan hidup penonton, dan itulah yang Na Hong-jin coba berikan. Sebuah cerita folklore religion yang lekat dengan nilai-nilai tradisional Korea Selatan, dengan sedikit menggabungkan unsur Christianity (ada karakter pendeta di sini dan film ini dimulai dengan sebuah quote dari Bible) dan nilai filosofis yang agak mendalam. Melalui The Wailing kita diajak mengenal dunia perdukunan dan kesurupan versi Korea Selatan. And yes it is creepy as fuck.

Sebagai sebuah film horror sesungguhnya The Wailing bukanlah film horror khas hantu yang suka melibatkan jump scare moment, dengan cuma mengandalkan beberapa adegan yang seperti itu (tapi sekalinya ada efektif banget!). Lebih tepatnya bisa dikatakan The Wailing lebih suka bermain secara psikologis, more thriller show than horror. Tapi bukan berarti The Wailing pelit dalam kasih disturbing scene, biarpun level sadisnya masih toleran. Hal menarik dari The Wailing adalah bagaimana Na Hong-jin berhasil membangun terornya - membangun atmosfer yang membuat penonton merasa tidak nyaman dan merasa paranoid, sekaligus bikin penasaran tentang misteri apa yang sesungguhnya terjadi. Trik teror yang ada juga tidak pernah dilakukan dua kali, dan mungkin inilah yang membuat biarpun durasinya terbilang lama tapi saya nggak dibikin bosan sedikitpun (beda halnya dengan yang saya rasakan waktu nonton The Conjuring 2, it felt like never ending horror hingga akhirnya saya jadi kebal rasa). Ending film adalah bagian kritis dari sebuah film horror, dan Na Hong-jin berhasil melakukannya dengan sangat.... luar biasa. Kesan di akhirnya sungguh nggak mudah dilupakan. Bikin kita ketakutan sambil menebak-nebak siapa yang bisa dipercaya. Nonton ini malem-malem jam 12 malem jelas sebuah kesalahan yang bikin saya nggak bisa tidur (apalagi setelah ingat malam itu malam Jumat. Big mistake!).

Buat yang cukup familiar dengan film Korea Selatan pasti sudah tahu bahwa kebanyakan film mereka memiliki selipan unsur komedi, bahkan untuk film thriller-mystery-horror seperti ini. Unsur komedi ini utamanya datang dari karakter sang tokoh utama - yang diperankan dengan baik oleh Kwak Do-won. Banyak film Korsel memproyeksikan polisi Korea Selatan bodoh, pemalas, dan naif, dan hal ini ada pada karakter Jong-gu, Namun perlahan, Jong-gu menunjukkan karakter yang berbeda - liar dan kasar, dan sekali lagi Kwak Do-won juga berhasil menunjukkan perubahan karakter itu. Saya juga harus mengakui keberhasilan akting Kim Hwan-hee yang berperan sebagai putri kecil Jong-gu. Yang jelas aktingnya jauh lebih oke dari anak kecil di film Train To Busan (2016) yang bagi saya akting nangisnya sangat mengganggu dan kagak bikin saya simpatik. Jun Kunimura sebagai pria Jepang yang misterius dan Hwang Jung-min sebagai sang dukun juga bermain dengan sangat baik.

Satu-satunya kekurangan The Wailing mungkin ada pada beberapa bagian cerita yang terasa ambigu atau tidak jelas. Ditambah lagi fakta bahwa Na Hong-jin menahan diri untuk tidak secara gamblang menjelaskan apa maksud cerita ini. Hal ini bikin saya agak frustasi saking penasarannya (baca bagian spoiler di bawah). Saya juga agak terganggu dengan beberapa karakter, termasuk Jong-gu, yang kerap melakukan hal-hal bodoh dan lambat khas film horror. 

*spoiler* Ngomongin ending The Wailing sangat bikin saya penasaran. The Wailing bagaikan serangkaian puzzle berserakan dan penonton diharuskan untuk menyusun puzzlenya. Sebuah clue dari sang sutradara menunjukkan bahwa film ini punya kecenderungan tinjauan filosofis good versus evil, dan tugas kita adalah menebak siapa yang jahat siapa yang baik. Selama dua jam awal kita dibuat cukup yakin dengan siapa yang jahat, tapi menjelang akhir (titik klimaksnya) kita dikejutkan dengan sebuah "twist", dimana tebakan siapa yang jahat kemudian berganti. Namun justru saat kita mulai yakin siapa yang jahat, Na Hong-jin malah bermain dengan emosi penonton, bikin kita sama dilematisnya dengan sang tokoh utama mengenai siapa yang bisa dipercaya. Lalu tiba-tiba saja film berakhir dan meninggalkan saya dengan pertanyaan besar yang menggantung. Makin bingung karena saya toh tidak terlalu familiar dengan dunia mistis Korea, apalagi harus disambung-sambungin dengan nilai-nilai Christianity menyangkut faith dan temptation. Ada banyak versi analisa yang beredar di internet, dan ini makin bikin saya bingung! *spoiler ends*

Overview:
The Wailing adalah sebuah campuran indah antara misteri/suspense, thriller dan horror. Dalam sinematografinya, scoring music, desain produksi dan kostumnya, Na Hong-jin sukses membawa kita kepada dunia folklore dan spiritualisme Korea. Nilai autentik tradisionalismenya adalah hal yang membuat The Wailing terasa khas dan menarik, menghadirkan atmosfer mistis yang kelam, creepy, dan disturbing. Durasi 2 jam terbilang panjang, namun Na Hong-jin sukses menyeret penonton kepada konflik dan emosi sang tokoh utama - membuat saya sama sekali nggak merasa bosan. Na Hong-jin dengan baik melempar umpan yang saya tangkap, dan kini saya terjebak pada dunianya. Seriously, The Wailing is one great hell terror show. 

Komentar

  1. Ya ampun mb, gue juga suka komik serial misteri Chie Watari, mulai dari Hutan Rahasia, Dari Dunia Lain, Aku Hilang, Penjaga Rahasia, Sekolah Hantu, Chiko, komiknya pun masih ada ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.. film ini kayak Misteri Lukisan Gulung deh..

      Dulu komik serial misteri emang paling serem punyanya Chie Watari

      Hapus
  2. Aku juga nekat nonton The Wailing ini malem2, kemudian kepikiran sampai beberapa hari ke depan *kena tulah haha*

    Dan aku pun sebel bin kesal karna bingung sendiri ini siapa yg jahat siapa yg baik. Somehow aku msh ngerasa yg cewek sih yang jahatnya T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo kata director-nya sih yang cewek yang baik. Jadi udah clear cewek yang baik dan orang Jepangnya yang jahat. Tapi masih kerasa gag jelas juga sih..

      aku mikir kadang di dunia nyata siapa yang baik siapa yang jahat susah dibedain, mungkin itulah yang mau ditunjukin Na Hong-jin. Aku juga mikir kok kayaknya si orang Jepang nya baik, soalnya ekspresinya suka keliatan kasihan.. ahahaha..

      Hapus
  3. ini kenapa ending dari film-film Na Hong Jin depresif semua ya -_-
    Chan-Wook masih mendinglah ending SfLV dan Handmaiden lumayan cerah. lah yg satu ini, depresif semua -_-

    BalasHapus
  4. Aku malah clear banget mikirin endingnya -_-
    Di klimaksnya kena perangkap 'plot twist' juga sih :D
    Tapi kalau dipikirin lagi, agak sedih yah liat keadaan realita (di film) yang sebenarnya.. hantu ceweknya itu capek - capek jagain keluarganya malah gagal karena bapaknya yang naif ;(

    BalasHapus
  5. Percaya ga percaya abis liat film ini aku ngepens ama si mudang (dukun) hwang jung min (yang main di new world ama the unjust jugak) baiknya (etapi dia baik ga sih...kok terakhiran tetep motret para korban) apa kerja mudang kek gitu..
    Samaaa pemeran si anaknya lebih alami gitu ketimbang yang main di train to busan ya ga bangettt hoho #just my to cent

    Dan yak setuju banget, aku pikir thriler korsel ini beda banget ya ama thtiler negara lain. Dia ad nilai heritage ama eksplore family story yang kadang malah bikin emosi penonton tersalurkan, ga mlulu yang cuma isinya sampah kek tereak2 di film horror thriler kebanyakan

    Dan yaaash..endingnya pas aku ngarep ini si manusia jepangnya ini sebenernya baik ga sihh, e pas disamperin di goa ternyata kluar tanduk ama ekor khas iblis jugak, dan gue ternganga seketika itu juga buat bilang bahwa daaaamn film ini brilliant ! :D

    BalasHapus
  6. Kalo yang saya liat sih secara garis koleksi foto dukun dan si orang Jepang yang sama sama punya koleksi foto mayat. Mereka kerja sama buat bikin sifat manusia didesa itu beda. Terbukti dari mulai polisi yang langsung maen hakim sendiri dengan cara mau ngebunuh si orang Jepang.

    BalasHapus
  7. film2 mba niken semua gue banget, bedanya cuman mba niken keren dalam penulisan, ( suatu saat pasti bisa )
    gue cuman penikmat ssajaa hahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!