RottenTomatoes: 73%
Imdb: 7.5/10
Metascore: 62/100
NikenBicaraFilm: 4/5
Rated: PG-13
Genre: Mystery & Suspense, Science - Fiction
Directed by Gareth Edwards ; Produced by Thomas Tull, Jon Jashni, Mary Parent, Brian Rogers ; Screenplay by Max Borenstein ; Story by David Callaham ; Based on Godzilla by Toho ; Starring Aaron Taylor-Johnson, Ken Watanabe, Elizabeth Olsen, Juliette Binoche, Sally Hawkins, David Strathairn, Bryan Cranston ; Music by Alexandre Desplat ; Cinematography Seamus McGarvey ; Editing by Bob Ducsay ; Studio Legendary Pictures, Warner Bros. Pictures ; Distributed by Warner Bros. Pictures (International), Toho (Japan) ; Release dates May 16, 2014 (United States) ; Running time 123 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $160 million
Story / Cerita / Sinopsis :
Let me
straight to the point: sebuah makhluk aneh berukuran masif (tiga sekaligus,
termasuk si Godzilla) muncul secara tiba-tiba dan mengancam keselamatan dunia (in
this case, selalu Amerika tentu saja).
Review / Resensi :
Industri
perfilman tidak pernah bosan memporak porandakan suatu kota, dan salah satu
makhluk-nya yang cukup legendaris dalam menghancurkan kota adalah
Godzilla (dibaca Gojira dalam lafal Jepang), yang telah difilmkan beberapa
kali. Terakhir kali Godzilla difilmkan 16 tahun lalu, yakni tahun 1998 dengan
Matthew Broderick sebagai pemeran utamanya – dan boleh dikatakan membuat kecewa
para fans berat Godzilla karena tampaknya Roland Emerich sang sutradara dengan
seenaknya membuat monster yang jauh berbeda dari versi awalnya. Disebut-sebut bahwa ada terlalu banyak nuansa dinosaurus dari Jurassic Park pada monster kebanggan orang Jepang itu. Saya sendiri
lupa – lupa ingat bagaimana Godzilla menghancurkan New York di film ini, yang
saya ingat jelas cuma bagaimana Jamiroquai menari-nari sambil nyanyi Deep
Underground (salah satu soundtrack film tersebut) di dalam sebuah gedung
bioskop yang dihancurkan Godzilla.
Sebagai film
yang diharapkan bisa menjadi blockbuster movie, Godzilla telah mampu
menampilkan rumus-rumus kesuksesan film dengan sangat baik. Kemunculan Godzilla
memang memancing kesabaran, karena kamu tidak akan melihatnya sampai
pertengahan film. Ini justru yang menjadikannya begitu menggoda, dan kemunculan
utuh perdana si monster Godzilla terasa sepadan. Gareth Edwards, sebagai sutradara
mampu menampilkan banyak adegan dengan penuh dramatisasi yang cool dan - well,
tidak ngalay. Jika Edwards begitu mahir menyimpan penampakan Godzilla hingga
pertengahan film, maka bukan hal yang susah bagi Edwards untuk memainkan emosi
dan ketegangan penonton lewat serangkaian adegan-adegan hening mencekam yang
membuat jantung penonton berdegup kencang. Ditambah pula dengan atmosfer film yang terasa
begitu misterius, tone sinematografik bernuansa suram dan penataan musik oleh
Alexander Desplat yang begitu megah, Godzilla begitu total menghibur penonton. Adegan
terjun payungnya para prajurit berani mati dari atas pesawat ke tengah kota San
Fransisco yang tengah dihancurkan monster-monster purba – yang ditampilkan
dalam sinematografi yang begitu indah bagi saya adalah adegan terindah di film
ini.
Dengan
budget yang tembus 160 juta dollar, Godzilla jelas menampilkan spesial efek
yang begitu glamor dan luar biasa. Jika dibandingkan dengan Godzilla versi
1998, Godzilla tahun 2014 ini lebih setia pada Godzilla versi awalnya –
walaupun beberapa fans dari Jepang masih saja berkomentar bahwa Godzilla ini
terlalu gemuk. Yang agak sedikit mengganggu bagi saya mungkin penampakan wujud
monster MUTO yang lebih terlihat seperti robot
daripada makhluk purba, dan yeah, adegan pertempuran dahsyat MUTO versus
Godzilla tampaknya berakhir begitu cepat dan terasa anti-klimaks.
Beberapa
film kehancuran dunia (entah lewat bencana, monster atau makhluk luar angkasa)
yang saya kenal memang kerapkali menampilkan tema keluarga, tak terkecuali Godzilla
yang mengambil sudut pandang seorang ilmuwan Amerika Joe Brody (Bryan Cranston, Breaking Bad)
yang harus kehilangan istrinya akibat bencana yang menimpa pabriknya (yang
ternyata disebabkan oleh makhluk-makhluk itu) dan anaknya Ford Brody
(Aaron Taylor-Johnson, Kick-Ass) – yang kemudian menjadi tentara Amerika
sebagai ahli penjinak bom. Namun, disinilah tampaknya Max Borenstein sebagai
penulis naskah tidak mampu menyampaikannya dengan baik. Selepas adegan dramatis
di bagian awalnya, adegan drama di hampir seluruh film ini kemudian berjalan
begitu datar. Nama – nama besar macam Ken Watanabe, Sally Hawkins maupun
Elizabeth Olsen bahkan memiliki peran dan karakter yang nyaris tidak berguna. Aaron Taylor-Johnson sebagai leading role berwajah begitu datar dan kurang ekspresif, sehingga wajah gantengnya bahkan juga tidak mampu mengundang emosi saya. Ending film ini juga terasa dibuat begitu terburu-buru
dan adegan dramatis pertemuan si Ford dan anak-istrinya yang seharusnya menjadi momen paling menyentuh, berjalan begitu
flat dan klise.
Overview:
Di satu
sisi, Godzilla adalah tipikal monster-movie dengan spesial efek yang tidak akan
mengecewakanmu. Gareth Edwards begitu piawai membawakan alur film yang mampu membuat
penonton merasa tegang sekaligus penasaran, dan monster Godzilla-nya jelas
begitu fenomenal. Namun di lain sisi, Godzilla gagal total dalam membangun
nuansa drama yang menyentuh dengan terlalu banyak sub-plot dan karakter yang
tidak berguna. Bahkan saya nggak tahu apa sebenarnya fungsi Sally Hawkins di
film ini.
aku nonton ini semacam cuma ingin membuktikan kalau beneran beda dengan Godzilla Hollywood sebelumnya sih mbak :))
BalasHapusGodzilla cuma muncul 8 menit ._.
BalasHapusKereeen!!! :)
BalasHapushttps://www.facebook.com/media/set/?set=a.993577397420953.1073741827.980924945352865&type=3
http://jualhajarjahanammesirasli.blogspot.co.id/
https://www.facebook.com/085648063354-Jual-Hajar-Jahanam-Asli-Mesir-Surabaya-Kaskus-Jogja-980924945352865/