The Four-Faced Liar (2010)


Directed by Jacob Chase ; Produced by Daniel Carlisle, Dave Gonzales (associate), Ashlea Hartz (line), Samantha Housman, Todd Kubrak, Emily Peck, Louise Runge (executive), Marja Lewis Ryan, John Sambalino (executive), Benjie Sperling (executive) ; Written by Marja Lewis Ryan (play and screenplay) ; Starring Marja Lewis Ryan (Bridget), Emily Peck (Molly), Todd Kubrak (Trip), Daniel Carlisle (Greg), Liz Osborn (Chloe) ; Music by Jane Antonia Cornish ; Cinematography Danny Grunes ; Editing by Jacob Chase ; Release date(s) January 2010 ; Running time 87 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $2,000,000 (estimated)

Genre: Drama, Comedy
NikenBicaraFilm:

Sinopsis:
Greg (Daniel Carlisle) baru saja pindah ke NYC, tinggal bersama his girlfriend Molly (Emily Peck). Suatu saat mereka gag sengaja nongkrong di sebuah bar bernama The Four-Faced Liar dan bertemu dengan Trip (Todd Kubrak) dan pacarnya Chloe (Liz Osborn) serta his lesbian-roommate Bridget (Marja Lewis Ryan). Kisah kemudian bergulir ketika Molly menemukan ketertarikan yang janggal kepada Bridget...


Review:
Jujur ya, alasan saya tertarik nonton film ini adalah karena film ini berhasil memenangkan Best Lesbian Film – Q Cinema Film Festival 2010 dan menang Emerging Artist Miami Gay & Lesbian Film Festival 2010. Heh, bukannya saya lesbi ato apa, tapi iseng aja pengen nonton. Haha. Padahal cowok saya udah males gitu waktu tau saya nekad beli DVD ini, dan gag kepengen sama sekali buat nemenin nonton *Lho, kok out of the topic*. Btw, The Four-Faced Liar merupakan salah satu official selection movie untuk beberapa festival, sebut saja salah satunya SlamDance Festival 2010 – sebuah festival yang boleh dikatakan untuk filmmaker dan dari filmmaker dengan kebanyakan film-film indie yang diputar di sini.

Secara kasar, The Four-Faced Liar punya ide yang hampir mirip dengan The Kids All Are Alright (2010). Film drama yang diperankan oleh Annette Bening, Julianne Moore dan Mark Ruffalo yang juga sempet masuk nominasi film terbaik di ajang piala Oscar 2011 kemaren. Saya katakan mirip, soalnya sama-sama ngambil konflik soal hubungan gay (dalam konteks ini gay yang dimaksud adalah lesbian) – walau bukan itu sebenarnya yang menjadi topik persoalan utama. Film independen yang ditulis, dibintangi dan diproduseri oleh orang-orang yang sama ini sebenarnya cuma bercerita soal hubungan cinta segitiga, dengan bumbu perselingkuhan. Konflik sederhana yang pasti udah sering denger kan? Tapi jadi agak gag tidak biasa, ketika konflik perselingkuhan itu melibatkan hubungan sesama jenis. Ya, film kayak begini sekilas emang rawan jadi murahan. Apa kalo sebuah film memasukkan unsur gay-lesbi jadi begitu demikian menarik buat penonton? *walaupun terbukti sih saya tertarik juga buat nonton! haha* Tapiiiii.. ternyata emang film yang disutradarai oleh Jacob Chase yang baru berusia 24 tahun ini cukup menarik lho. Sangat baik malahan menurut saya untuk katagori film independen yang budgetnya gag ada seberapanya dibandingkan film-film garapan studio besar.

Terlepas dari permasalahan lesbian, film ini sendiri bercerita banyak soal true-relationship dan persahabatan. Kita pada satu sisi berusaha memahami bagaimana Molly, yang sedikit bosan dengan karakter lack of passion dari Greg, kemudian menemukan hubungan yang begitu real dengan Bridget – yang notabene adalah lesbong. Molly yang merasa menemukan ketidakpekaan dari Greg, selaku pacarnya, menyadari Bridget adalah sosok yang begitu bisa memahaminya – dan hal ini dikarenakan mereka sama-sama perempuan. Tapi di satu sisi saya juga jatuh simpati dengan Greg, yang dikhianati oleh kekasihnya tapi berusaha untuk memendam perasaan amarahnya. Begitu pula Bridget, yang biarpun tahu kalo dia salah karena udah ngerebut pacarnya orang, tapi juga menimbulkan simpati kepada kita karena dia juga menyukai Molly dengan tulus. Nah lho... kalo dah gini saya bingung pada akhirnya harus berpihak kepada yang mana. Ini bukan mengenai mana yang benar atau mana yang salah, tapi bagaimana perasaan terlalu sering mengaburkan logika. Dan bukankah orang sering bilang untuk lebih ngikutin kata hati? Tapi sejujurnya saya agak kesal sama karakter Molly yang seenaknya aja main putus-putusin. Mentang-mentang laku. Haha. O ya, saya juga cukup suka dengan persahabatan yang unik antara Bridget dan Trip, serta bagaimana persahabatan mereka menjadi terganggu dengan adanya konflik cinta segitiga itu...

Pemain yang paling menonjol di sini tentu saja adalah Marja Lewis Ryan, yang memerankan Bridget. Aktingnya sebagai lesbian benar-benar meyakinkan, bikin saya jadi bertanya-tanya tentang orientasi seksualnya di kehidupan sebenarnya. Stylenya di film ini juga cukup meyakinkan, dengan karakter badboy-nya dan gaya berpakaiannya yang slengekan. Pemeran lain saya rasa bermain cukup baik, walaupun gag terlalu istimewa.

Yang juga cukup istimewa dari film ini mungkin adalah sinematografinya yang terbilang keren untuk sebuah film independen. Saya suka sudut-sudut pengambilan gambarnya. Saya juga suka beberapa detail sederhana yang dimasukkan ke film ini dan makin menghidupkan cerita, terutama gimana kehidupan satu ruangan antara Trip dan Bridget – bagaimana mereka selalu sikat gigi bersama-sama setiap pagi, dan Bridget selalu minta Trip untuk menuangkan pasta giginya ke sikat gigi Bridget. Saya juga ngakak waktu Bridget dengan santainya di toilet sambil ngerokok dan baca majalah tanpa menutup pintunya – gag peduli roommate-nya ada di ruangan yang sama atau gag. Tapi memang kelihatan sekali sih di beberapa bagian film ini mencoba cukup memaksa untuk terlihat ‘cool’, contohnya gimana Trip dan Bridget hanya memakai kacamata ketika sikat gigi, dan gimana dari film ini mulai sampai berakhir, Molly gag juga menyelesakan novel Wuthering Height yang dibacanya. Hehe.

Oh ya, agak cukup menenangkan juga karena tidak ada s*x scene ala bokep. Semuanya ada pada porsi yang tepat dan gag ada adegan yang kelewat vulgar kok.

Overview:
Sebuah sajian yang sangat menjanjikan untuk sebuah film independen. Biarpun mengulik soal isu sensitif yakni hubungan sesama jenis, tapi itu sendiri bukan masalah utama yang coba dibahas. That’s just part of issue dari sebuah relationship antara 2 orang manusia.

Komentar