Let Me In (2010)


Directed by Matt Reeves ; Produced by Simon Oakes, Guy East, Nigel Sinclair, Donna Gigliotti, John Nordling, Carl Molinder ; Screenplay by Matt Reeves ; Story by John Ajvide Lindqvist ; Based on Let the Right One In by John Ajvide Lindqvist ; Starring Kodi Smit-McPhee, Chloë Grace Moretz, Elias Koteas, Richard Jenkins ; Music by Michael Giacchino ; Cinematography Greig Fraser ; Editing by Stan Salfas Studio EFTI, Hammer Films, Exclusive Media Group ; Distributed by Overture Films, Relativity Media (US), Icon Film Distribution (UK) ; Release date(s) October 1, 2010 ; Running time 116 minutes ; Country United States, United Kingdom ; Language English ; Budget $20 million ; Gross revenue $22,218,87

Genre: Horror, Drama
Rated: R
RottenTomatoes: 90% (7.6/10)
NikenBicaraFilm:

Sinopsis :
Berdasarkan novel karangan John Ajvide Lindqvist, dan merupakan remake dari film Swedia Let the Right In, menceritakan tentang persahabatan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, Owen (Kodi Smit-McPhee) yang kerap dibully oleh teman-temannya di sekolah dengan anak perempuan tetangga misteriusnya, Abby (Chloe Grace Moretz) yang ternyata seorang vampir.

Review:
Huh? Cerita tentang vampir lagi? Another twilight?
Waduh, jangan keburu ilfil dulu. Sama sekali beda. Ini bukan kisah romantis kacangan antara gadis manusia yang diperebutkan vampir cool dan manusia serigala yang seksi.


Saya penggemar film horror, tapi tidak pernah terlalu menyukai horror hantu ala Hollywood yang menurut saya pribadi masih kalah jauh nakutinnya dibandingkan suster ngesot. Lebih-lebih, masih kalah juga dibandingkan hantu Sadako dengan rambut disisir ke depan yang muncul dari sumur. Vampir, bagi saya sendiri bukan sosok yang cukup mudah menakuti saya. Kesannya malah menjadi hantu yang sedikit ‘cheesy’, walaupun dari segi kemampuan ‘mematikan’ memang nomor satu. Tapi mungkin karena Indonesia sendiri gag kenal hantu-hantu macam vampir dan zombie, sehingga kesannya seperti mengada-ngada. Lha coba kalau kuntilanak, sudah pasti suaranya yang tertawa kecil aja udah bikin saya mau ngompol di celana. Eh, kok bahasannya jadi menyimpang sih... (*pukul kepala)

Let Me In, menyuguhkan sebuah horror yang fresh. Tentang vampir, tapi penyebutan kata-kata vampir sendiri sepanjang film cuma ada satu kali disebut. Saya tidak pernah menonton film aslinya yang versi Swedia, jadi mustahil bagi saya untuk bandingin film ini dengan film aslinya. (*Tapi beberapa kritikus berpendapat kalau film remakenya sama baiknya dengan film aslinya). Saya juga gag pernah baca novelnya, jadi gag mungkin juga membandingkannya dengan novelnya. Jadi review saya mungkin hanya berdasarkan ‘penglihatan’ saya di Let Me In.

Dari segi cerita, film yang diangkat dari novel ini sebenarnya sudah cukup menarik. Film ini juga memasukkan unsur drama, menggambarkan sebuah keterikatan yang ajaib antara anak laki-laki 12 tahun yang jadi semacam ‘loser’ di sekolahnya, dengan seorang anak perempuan yang aneh : bertelanjang kaki di tengah salju, dan muntah-muntah kala makan permen karet rasa anggur (*dan ternyata nantinya ketahuan seorang vampir pengisah darah. Iya, darah. Dia bukan termasuk anggota Cullen yang puasa makan darah manusia). Sosok Owen, memang menjadi sebuah toko sentral yang membuat kita bersedih kala mengetahui bagaimana kelam hidupnya. Ayah ibunya yang sering bertengkar dan hampir bercerai, serta selalu diganggu – dengan sangat biadab – oleh teman-teman di sekolahnya. Hal ini menjadikannya memiliki dunianya sendiri, belajar memainkan pisau dan membully orang lain dalam khayalannya, dan sering mengintip tetangga-tetangganya. Ketika kemudian datang Abby, cewek cool tapi misterius, dan pelan-pelan menunjukkan sinyal mau berteman, wajar jika Owen kemudian menjadikan Abby sahabat barunya.


Unsur horror dan thriller, kemudian dimasukkan pada adegan-adegan bengis pembantaian (*yang tentu saja disensor pada beberapa adegan jika Anda melihatnya di bioskop) yang penuh darah muncrat sana muncrat sini. Yang saya suka, Matt Reeves (Cloverfield), sang sutradara, cukup baik memasukkan unsur ketegangan yang bagi saya menjadi orisinil untuk kelas film tentang vampir. Reeves seolah-olah bermain dengan tidak buru-buru, pelan-pelan mengendapkan ketegangan pada penonton, hingga kemudian “Jdueeerrr...” penonton tersentak. Pintarnya, Reeves tidak memasukkan ketegangan dengan modus yang sama berulang kali – sehingga tidak membuatnya menjadi suatu jebakan yang penonton sudah duga.

Tentu saja, sebuah ketegangan horror tidak akan merasuk begitu dalam kepada penonton, jika tidak ada iringan musik yang sesuai. Untungnya, Reeves punya penata musik yang handal, Michael Giacchino. Iringan musik yang mengalun pelan-pelan, menyayat hati, mampu membangun suasana yang pas. Saya juga suka bagaimana Reeves mengambil angle-angle gambar, membentuk frame-frame cantik sepanjang film, menjadikan ini sebuah film horror yang elegan. Gag sekedar penuh darah. (hehe.. berhubung saya gag pernah ambil kuliah sinematografi ato pakar lah di bidang itu, saya kayaknya gag bisa berkomentar banyak soal seni pengambilan gambar).

Kedua tokoh utama, yakni Owen dan Abby pun diperankan dengan baik oleh para pemerannya. Kodi Smit-McPhee, yang memerankan Owen, yang tipikal face-nya mengingatkan saya pada Nicholas Houltz waktu main About a Boy, cukup mampu menjiwai perannya, dan menunjukkan akting-akting ‘ketakutan’ yang cukup baik. Chloe Moretz pun tampil tidak dengan penuh kejutan, karena kita sudah pernah melihat aktingnya memotong kaki orang jahat di film Kick Ass (waktu itu ia masih lebih kecil dan masih lebih cute), dan dengan rambut cokelat panjangnya di sini, ia cukup mampu menjadi sebuah vampir yang imut-imut, walau sebenarnya nakutin.

Sungguh, I really-really love this movie. Sejak era Orphanage (2008), saya belum nonton film horror lain yang sebagus ini.

Direkomendasikan untuk :
Penggemar film horror.

Tidak direkomendasikan untuk:
Yang punya sakit jantung, dan yang gag suka film horror!


Best Scene :
WATCH OUT! SPOILER ALERT!
Ketika berandalan teman sekolah Owen ingin balas dendam ke Owen dengan menenggelamkan Owen di kolam renang selama 3 menit. Owen telah tenggelam 1 menit, kamera mengarah ke Owen di dasar kolam renang, dan kemudian perlahan terdengar jeritan dan pekikan kemarahan di atas air, dan potongan tubuh-tubuh berandalan tersebut melayang di samping kiri kanan Owen, lalu air menjadi berwarna merah. Si kecil Abby membunuh berandalan itu untuk Owen.
*anggap lah saya pyscho, tapi adegan itu emang best scene-nya!

Fact-Fact-Fact:
(Beberapa cerita seputar film ini saya ambil dari wikipedia):
1. Thomas Alfredson, sutradara film versi Swedianya, awalnya diminta untuk menyutradarai film versi Amerikanya (Let Me In) ini, namun ia menolak dan mengatakan bahwa ia terlalu tua untuk menyutradarai film yang sama 2 kali. Ia bahkan mengatakan bahwa sebuah remake seharusnya dibuat apabila film originalnya tidak bagus, sehingga kesalahan-kesalahan pada film originalnya dapat diperbaiki di versi remakenya. Namun sutradara ini mengatakan bahwa filmnya, Let The Right One In, adalah film yang bagus.
2. Sutradara Mike Reeves kemudian mengatakan bahwa filmnya versi Amerika, akan dibuat based on novel, bukan based on previous film. Ya, beberapa kritikus memang mengatakan bahwa Let Me In lebih sempurna daripada versi Swedianya, namun beberapa kritikus lain bahwa Reeves pastilah sangat terpengaruh oleh film versi Swedianya, dan tidak dapat dibedakan. Namun, pengarang novelnya sendiri mengatakan bahwa ia cukup suka dengan kedua film yang diangkat dari novelnya.
3. Reeves melakukan beberapa perubahan dari novelnya. Tokoh Owen dan Abby sebenarnya bernama Oskar dan Eli. Lokasinya pun berubah dari Stockhlom ke Los Alamos, New Mexico.
4. Pengarang novel terkenal, Stephen King mengakui bahwa Let Me In merupakan salah satu karya horror terbaik selama 20 tahun terakhir.

Komentar

  1. kamu itu salah masuk jurusan deh ken.. harusnya kamu cocoknya kuliah di jurusan sinematografi atau jurnalistik sekalian, hehehhe...
    tapi baguslah, saya suka dengan kalimat2mu dalam pengungkapannya.
    Keep writing, and I'll always enjoy your postings... :-)

    BalasHapus
  2. Makin jatuh cinta sama Chloe Moretz dah pokoknya
    :D

    BalasHapus
  3. Let Me In ini memang bagus. tapi saya personally lebih suka versi swedia nya, Let The Right One In. lebih creepy dan eerie atmosfirnya :)

    BalasHapus
  4. @lutfi : ah, mas lutfi bisa2 aja... thx dah mampir lut...

    @movfreak: iya, kayaknya chloe moretz bakal jadi the next dakota fanning.. sayang dya masih gag bnyak main ama aktor terkenal..

    @Fariz : wahhh.. sy sedih banget belum nonton versi aslinya.. =(((

    BalasHapus
  5. mau tanya doonngg~
    baru beli dvdnya. belum ditonton (baru baca novelnya)
    di novelnya kan ada adegan2 yang ga pantes buat anak2. di filmnya ada jg ga? soalnya ku mau nonton bareng adekku. kalo sendirian takut.. ._. tapi pengen banget nonton

    BalasHapus
  6. Filmnya gag nakutin kok.. cuma ngagetin aja.. hehe.. Ada beberapa adegan yang cukup sadis, sebenarnya. Penuh darah. Saran saya kalo buat anak2 kayaknya gag recomended deh... Biar gag takut, nontonnya siang aja.. hehe.. ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!