Analysis Review: Materialists (2025) - In This Economy... dan Tetap Memilih Absurdisme Cinta

Saya teringat ketika kita perempuan mendambakan kisah cinta epik yang dimiliki Jack & Rose di film Titanic (1997) atau Noah & Allie di film The Notebook (2004). Kisah cinta romantis yang membuai kita selepas menontonnya, berharap bahwa kita bisa mempunyai cinta sebesar itu dalam hidup kita (walau abaikan kisah Jack mati di akhir film Titanic ya). Tapi kehidupan nyata kemudian menyadarkan kita bahwa hidup ga seperti di film-film. Belakangan kita sering membaca perbincangan di sosial media dimana perempuan sadar bahwa Rose dan Allie di film tersebut adalah perempuan bodoh, karena melewatkan tunangan-tunangan mereka yang baik hati nan financially stable, lalu lebih memilih lelaki yang lebih "tidak bermasa depan" seperti Jack dan Noah.

Dengan pandangan logis & realistis macam ini, romantisme cinta berlebihan dipandang sebagai cerita ga masuk akal. Kita disadarkan bahwa pertimbangan dan kalkulasi rasional perlu digunakan untuk menilai pasangan dalam pernikahan, karena.... yeah, cinta saja ga cukup (tagihan ga bisa dibayar pakai cinta kan?). Dalam banyak hal saya sepakat realistis semacam ini benar dan harus dipakai supaya ga terjebak pada hubungan dan hidup yang salah. Tapi terkadang... terlalu memegang teguh pandangan ini membuat kita menjadi getir dan pesimis dalam memandang cinta. Lebih buruk lagi, terlalu rasional justru menjauhkan kita dari kemungkinan cinta itu sendiri. Cinta memang butuh "dipikir", tapi cinta juga butuh dihidupi dan dirasakan. 

Dan hadirlah Celine Song - yang kabarnya menulis Materialists karena terinspirasi dari pengalamannya sendiri sebagai matchmaker. Ia berusaha mengingatkan kembali kita akan romantisme cinta yang mampu mengalahkan logika di kepala kita. Di sini, ia seperti tengah mencolek kita yang memasang standar kelewat realistis dalam mencari pasangan dan berkata, "Yeah, marriage is like a business deals. But love has to be on the table!". Kalimat itu literally diucapkan Lucy (diperankan Dakota Johnson) saat ia menyadari apa yang menurutnya penting dalam hidupnya.

Bagi saya Materialists adalah film yang sebenar-benarnya romantis, karena ia berangkat dari kesadaran penuh akan realisme hidup, tapi ia tetap mengajak kita untuk memilih absurdisme cinta. Celine Song percaya bahwa kala cinta datang, itu harusnya mudah (ini klise, tapi romantis!). Ironisnya, ga semua orang percaya itu (karena cinta dan jodoh terkadang perkara keberuntungan doank). Dan ending film ini kemudian membuat sebagian penonton perempuan murka: Lucy, telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya karena lebih milih "pria tidak jelas" seperti John (Chris Evans) daripada sosok pria mature sempurna (film ini menyebutnya 'unicorn') seperti Harry (Pedro Pascal). Girl, you just choose the wrong guy! Kritikan ini bahkan menyebut Materialists sebagai "broke man propaganda".

Kemarahan ini bisa dimengerti, mengingat memang banyaknya mokondo di dunia ini dan bagaimana banyak perempuan diperlakukan tidak adil. Tapi saya merasa, intensi Celine Song menulis naskah film ini adalah tentang bagaimana seorang perempuan yang lebih memilih spontanitas cinta di hubungan yang mungkin lebih berantakan, daripada hubungan yang stabil dan terjamin secara finansial, tapi dingin dan tanpa cinta. Apakah Lucy bodoh? Ya mungkin. Tapi, saya pun dengan kesadaran penuh, akan melakukan hal yang sama dengan Lucy: saya akan memilih absurdisme cinta. Saya percaya di situlah saya bisa hidup dan menemukan maknanya. Apakah saya tolol? Ya memang. Bukannya tolol dan romantis kadang memang beda tipis? 😂

Cuma menyebut John sebagai broke man, dan film ini sendiri sebagai broke man propaganda membuat saya mempertanyakan: apakah orang-orang ini tidak paham apa yang ingin disampaikan filmnya? Bahwa keseluruhan film ini sebenarnya 'sentilan' dari Celine Song untuk jangan terlalu membatasi diri pada kriteria superficial dan penilaian transaksional?

Sebagai penggemar Celine Song (saya cinta banget film Past Lives), berikut saya akan melakukan pembelaan.

PERNIKAHAN ADALAH TRANSAKSI BISNIS


Sebagian orang menyoroti bahwa dunia modern dating saat ini dipengaruhi oleh kapitalisme, dimana cinta menjadi komoditas, dan logika relasi tak ubahnya seperti transaksi bisnis. Saya tidak tahu apakah kita harus menyalahkan kapitalisme untuk problem ini, karena entahlah, kapitalisme terlalu sering disalahkan untuk apapun problemnya? 😅 Tapi menurut saya, pernikahan seperti "transaksi bisnis" itu memang umum dilakukan, bahkan sejak sebelum kapitalisme itu ada. Contohnya, pernikahan untuk menyatukan dua kerajaan, atau ketika sebuah keluarga menukar anak perempuannya dengan sapi. Bahkan setahu saya, pernikahan karena cinta itu adalah realita yang baru nge-trend belakangan dalam sejarah hidup manusia (itulah kenapa Shakespeare begitu revolusioner pada masanya). 

Dunia modern, ternyata masih menerapkan pola yang sama walau dengan detail yang berbeda. Kita melihat itu pada client-client Lucy di Adore Matchmaking. Lelaki & perempuan modern yang independen dengan gaji tinggi dan penampilan menarik, yang menerapkan kriteria idaman pada calon pasangan mereka. Sebagian punya kriteria masuk akal, sebagian di luar nalar. Pencarian cinta seperti pencarian 'tenaga kerja': kita menyimpulkan manusia dalam daftar syarat dan ketentuan (atau di film ini, daftar kriteria yang dicentang). Dan kompetitifnya dunia perkencanan ini juga bikin manusia bisa melakukan hal-hal gila (di film ini, terjadi pada Harry yang operasi tinggi badan dan menyebutnya sebagai investasi). 

Nggak ada yang salah sebenarnya dengan hal ini, saya meyakini ini wajar dan manusiawi. Kita mengetahui, mengukur dan meningkatkan potensi kita, dan menjadikan ini sebagai patokan dalam menilai pasangan - siapa yang bisa mendapatkan kita, dan apa timbal baliknya? Apakah misalnya, seorang lelaki/prempuan yang kaya raya, elite dan berpendidikan tinggi, layak dapat perempuan/lelaki berpendidikan rendah, bertampang biasa aja, dan dari keluarga sederhana? (untuk menghindari tuduhan diskriminatif, saya ga berani memberikan contoh ekstrim yang spesifik hehe). Tapi pertanyaan besarnya adalah: apakah value seseorang hanya ditentukan dari kemampuan finansial, tinggi dan berat badan, ukuran payudara, usia, dan pendidikan? Apakah.... cinta hanya bisa dicari dan ditemukan dengan cara seperti itu? Bukankah cinta harusnya menerima kita apa adanya? 

LUCY, THE MATERIALISTS


"I'm gonna die alone, or marry a rich husband," kelakar Lucy. Ia mengatakannya dengan santai dan sedikit bercanda, tapi cukup serius. Lucy adalah bagian dari realita modern dating ini: ia melakukan pertimbangan rasional dalam menilai siapa lelaki yang bisa bersamanya. Ia merasa ia tahu benar permainan ini. Profesinya sebagai matchmaker juga membawa dia menilai manusia dalam daftar kotak yang dicentang, mencocokkan siapa yang kira-kira cocok dengan siapa, dan siapa yang pantas untuk siapa. Ia percaya pernikahan adalah business deal dengan segala pertimbangan matematisnya ("Just a math!") dan hubungan ideal bisa ditentukan dari sini. 

Seorang client perempuanya menangis ketakutan ketika akan menikah. Lucy menghiburnya dan mengingatkan bahwa pasangan sang client adalah 'the one', karena "He (the groom) makes her valuable". Lucy pun awalnya menyukai Harry dengan pertimbangan yang sama, bagaimana Harry dengan kesempurnaannya bisa membuatnya merasa "valuable" (dan Harry pun mengatakan dengan tegas, "You are valuable"). Term 'valuable' menurut saya adalah istilah menarik yang mungkin sengaja digunakan Celine Song: kita manusia seperti sebuah produk yang bernilai atau tidaknya ditentukan dari logika dan selera pasar (oh heiii,  ternyata kapitalisme memang benar salah satu biang keladinya?). Mengatakan seseorang 'valuable', berarti mengartikan ia bernilai karena pasar mau menawar tinggi. Dan bisa bersama dengan orang yang high-value, artinya meningkatkan status sosial kita sendiri. 

MANUSIA TIDAK BISA DINILAI DARI KOTAK YANG DICENTANG

Kehadiran Sophie (Zoe Winters) sebagai client Lucy, adalah cermin diri Lucy itu sendiri. Dan ketika cermin itu retak, Lucy menyadari pandangan hidupnya yang selama ini ia percaya, belum tentu benar. 

Lucy mendeskripsikan Sophie sebagai 'the nice girl'. Sophie perempuan akhir 30an, cukup menarik, mandiri, punya karir dan gaji yang bagus. Tapi sayangnya ia berulangkali gagal dalam hubungan karena tampaknya, tidak semua lelaki cukup dengan sekedar 'nice girl'. Sophie terlalu "generik" untuk pasar yang kompetitif dan menuntut lebih. (Lucy membicarakan Sophie seperti sebuah "produk" yang cukup tricky untuk dipasarkan). 

Sophie menunjukkan bagaimana realita modern dating bisa bertindak kejam pada perempuan seperti dirinya. Ia perempuan dengan value tinggi, yang sayangnya harus berhadapan dengan lelaki "valuable" lainnya, yang menganggap Sophie terlalu gendut dan tua untuk standar mereka. Menariknya, logika kejam pasar yang teramat kompetitif dimana Sophie terjebak di dalamnya ini juga menjadikan Sophie berperilaku yang sama. Iapun tak luput menilai lelaki dari hal-hal superficial seperti gaji dan tinggi badan. Sebelumnya, ia menyukai seorang pria setelah merasa kencannya berhasil, sampai akhirnya mengetahui bahwa sang pria tidak menyukainya. Reaksinya defensif: ia langsung mengomentari kebotakan sang pria.

Dan yang cukup ironis bagaimana seseorang yang menarik seperti Sophie, bisa begitu kesepian dan kesulitan menemukan cinta sejati? Ia bilang, "I'm not asking for miracle. I just want to love someone...". Dibalik huru-hara perkencanan dan pencarian jodoh ini, ada kerinduan dan keinginan akan sebuah bentuk cinta yang sederhana. Apakah cinta memang adalah keajaiban? (Di momen lain, kita juga bisa mendengar bagaimana Harry yang sesempurna itu bahkan merasa dirinya idiot karena tidak tahu bagaimana cara menemukan cinta). 

Pelecehan Sophie adalah titik balik yang menyadarkan Lucy bahwa ia tidak bisa menilai seseorang dari sekedar daftar kotak kriteria yang dicentang. Seseorang bisa sempurna di atas kertas, dan melakukan hal jahat yang menyakiti kita. Setelah sebelumnya Lucy cukup percaya diri bahwa menilai seseorang dengan rasionalitas itu memberikan kepastian dan keamanan dalam hidup, kini ia mempertanyakan ulang kepercayaannya itu. Inilah yang juga kemudian membuat ia menyadari, bahwa ia tidak bisa bersama Harry lagi karena ia tidak mencintainya. Rasionalitas bukanlah cara tunggal dalam menemukan cinta sejati, dan manusia tidak seharusnya hanya dinilai dan dikerdilkan dalam batas-batas tertentu.

HARRY, THE UNICORN & SYMBOL

Banyak orang yang mengeluh Materialists seperti menyia-nyiakan potensi dan ke-charming-an Pedro Pascal (he's internet daddy, wajar semua orang marah!). Kehadirannya tidak terlalu menonjol, dan hubungannya dengan karakter Dakota Johnson juga seperti "missed" dari awal. Saya sendiri pun merasa demikian ketika pertama kali melihat adegan pertemuan Lucy dan Harry di pesta pernikahan: tampak agak aneh, canggung, dan something is really "off". Ingat ga sih perasaan "senyum-senyum sendiri" ketika kita melihat adegan perjumpaan romantis di film romcom? Materialists nggak punya momen itu, terutama di hubungan Harry & Lucy. Dan itu jelas kesengajaan. 

Perhatikan adegan perkenalan pertama Harry dan Lucy. Kamera terasa bergerak kaku dan tidak cukup dinamis. Ada scene dimana kamera seperti berlama-lama menyorot wajah Dakota Johnson dan mengabaikan Pedro Pascal. Ini blocking yang aneh - tapi saya rasa disengaja agar kita fokus pada wajah Dakota Johnson. Celine Song ingin kita melihat karakter Harry di mata Lucy. Dialog yang terjalin saat itu juga tampak rapi, intelek, tapi minim emosi. Lucy dengan jujur dan blak-blakan membicarakan kekayaan Harry (dengan nada bercanda, sehingga ga terdengar matre). Saya rasa Celine Song memang ingin menjadikan adegan ini tampak tertata. tanpa ada natural spark. Perjumpaan mereka adalah perjumpaan dua orang yang mengukur potensi lawan mereka masing-masing, sambil menampilkan versi diri yang "sempurna". 

Perhatikan juga adegan-adegan ketika Lucy & Harry berkencan di restoran-restoran mewah, dimana seringkali kamera menyorot agak jauh. Bahkan ada satu adegan (saya notice ini karena emang agak aneh?), dimana kamera mengambil gambar Lucy dan Harry yang berbincang-bincang dalam satu frame, tapi para chef di dapur terlihat sebagai background di belakang mereka. Chef-chef tersebut memang agak nge-blur, tapi kehadiran mereka dengan baju putihnya rada mengganggu, seperti membuat penonton tidak bisa sepenuhnya fokus pada Lucy dan Harry (di sini, kita juga bisa melihat gestur Harry yang seringnya tampak menjauh dan bersandar pada kursinya - ini bukan gestur orang yang tertarik dan jatuh cinta). Ada adegan juga dimana keduanya bercumbu di apartemen Harry, dimana Lucy malah mengagumi kemewahan apartemen Harry. Menurut saya, ini cara Celine Song ingin ngasih tahu bahwa dengan Harry, Lucy hanya melihat "kemewahan" di belakang Harry. Harry adalah investasi bagus.

Celine Song pun tidak mengajak kita mengenal atau masuk lebih dekat ke karakter Harry secara emosional. Harry tampak berkharisma, bisa membawa diri dengan baik, romantis (100% green flag + karir bagus + super kaya) - tapi sosoknya seperti tidak nyata karena kelewat sempurna. Satu-satunya kita diajak mengenali dirinya adalah ketika Lucy menyadari Harry telah melakukan operasi kaki (ini momen dimana untuk pertama kalinya Lucy pun merasa "mengenal" Harry), dan bagaimana Harry curhat kalau dia merasa idiot karena tidak tahu caranya jatuh cinta. Saya rasa, Celine Song memang sengaja menghadirkan tokoh Harry sebagai sebuah simbol/konsep belaka bagi Lucy. He's perfect on paper, but not the real one. 

JOHN, THE REAL ONE


Saat menonton film pertama Celine Song, Past Lives, saya kebetulan mengamati benar bagaimana cara Celine Song menampilkan kedua lelaki dalam film tersebut. Yang saya suka, Celine Song itu bisa dengan subtil memasukkan perbedaan karakter dan makna kedua lelaki itu dalam hidup sang protagonis wanita. Celine Song membuat keduanya tidak dibuat saling "bertarung" head to head. Ia memperlakukan keduahya dengan respect dan empati. Di Past Lives, sosok kedua lelaki itu mencerminkan dua waktu dan dua dunia yang berbeda dalam hidup tokoh utamanya. Di Materialists, Celine Song membuat seolah-olah persaingan memperebutkan "cinta" Lucy bukan tentang siapa yang lebih baik dan kuat, tapi tentang siapa yang lebih sesuai dan bisa membuat Lucy jatuh cinta.

Karena udah belajar sebelumnya, saya pun mengamati perbedaan cara Celine Song menyorot Harry dan John. Dengan Harry kita diajak melihat kesempurnaan secara simbolis, tapi dengan John kita diajak melihat pria yang tidak sempurna, tapi nyata dan manusiawi. Kamera sering menyorot Chris Evans dalam jarak dekat: kita diajak melihat John marah-marah dengan situasi apartemen yang berantakan dan roommates yang seenaknya sendiri. Kita diajak ketawa melihat kegugupan John saat Lucy tiba-tiba muncul di depan rumahnya (ia langsung buru-buru membersihkan diri dan ganti baju, ga pengen Lucy melihat apartemennya yang kacau, hingga Lucy sempet mikir apa ada cewek lain di apartemen John). Kita bisa melihat sosok pria yang lebih berantakan dan tidak sempurna, but he is the real one. 

Dan saya perhatikan juga, Celine Song tuh banyak melakukan mirroring hubungan Lucy & Harry dengan Lucy & John. Misalnya:

  • Harry membawa Lucy ke restoran mewah di NYC tanpa menunggu special occassions, dan membayar bill tanpa muka cemas sama sekali vs John yang mau bayar parkir mobil aja pelitnya minta ampun
  • Harry dengan bunga mawar yang mahal vs John dengan buket bunga liar
  • Harry dengan cincin mewah vs John dengan cincin-cincinan dari bunga

Sampai sini, wajar kalau John dianggap ga mbejaji (alias ga menjanjikan) 😂. Tapi coba perhatikan bagaimana reaksi Lucy saat berinteraksi dengan John dan bagaimana Celine Song mengemasnya. Bersama John, Lucy lebih emosional, lebih terbuka, dan lebih otentik. Walau sekilas koneksi mereka lebih messy, tapi mereka berdua jelas terlihat lebih connected.. Mari kita bandingkan:

  • Pertemuan pertama Lucy & Harry yang diawali dengan perbincangan intelektual vs John datang bawa coke & beer, dan Lucy langsung spontan berdiri dan memeluk John dengan hangat. Membiarkan Harry duduk dalam kecanggungan (this scene is so awkward). 
  • Dialog antara Lucy & Harry yang sangat tertata vs perbincangan Lucy & John yang lebih grounded, hangat dan punya kualitas persahabatan. Dengan John, Lucy lebih apa adanya.
  • Ketika Lucy menjawab Islandia untuk liburan impiannya, Harry ga bertanya kenapa Islandia (karena itu pilihan liburan yang cukup unik kan?), tapi saking kaya rayanya dia langsung bilang, "Yuk kita ke sana!" vs John yang bisa langsung membaca ada sesuatu yang terjadi pada Lucy. Dan ya, ketika ada problem... insting Lucy langsung lari ke John, bukan Harry.
  • Dancing scene keduanya: Lucy & Harry dalam pencahayaan ruangan yang natural dengan lagu So Young dari The Ronnes (seperti mencerminkan hubungan cinta yang immature) vs Lucy & John yang berdansa dalam pencahayaan yang jauh lebih romantis dan kamera yang menyorot lebih dekat, menunjukkan koneksi keduanya yang lebih intim (dan lagu yang diputar adalah That's All-nya Nat King Cole yang dibawain Baby Rose, tentang cinta yang sederhana tetapi tulus).
  • Pertengkaran Harry dan Lucy seperti perbincangan dua orang dewasa - tapi terlalu dewasa ini menandakan bahwa sedari awal keduanya memang tanpa perasaan vs pertengkaran Lucy dan John yang lebih raw, lebih emosional dan lebih real. Di sini coba perhatikan ekspresi Dakota Johnson saat mengejar Chris Evans dan bicara kepadanya. Dakota Johnson itu menurut saya adalah aktris yang aktingnya "tipis" banget, tapi di sini ekspresinya tetap berbeda ketika karakternya ngobrol dengan Harry dan John. Perhatikan juga bagaimana perbedaan Celine Song menyorot kedua adegan pertengkaran ini. 
Seluruh perbedaan ini saya rasa nggak dimaksudkan Celine Song untuk membandingkan siapa yang lebih baik, tapi siapa yang punya koneksi dan chemistry yang lebih baik dengan Lucy. Harry tampak sempurna di atas kertas (dan ia mungkin sempurna), tapi Lucy tidak bisa menemukan rasa cinta itu kepadanya (demikian Harry ke Lucy. Bagi Harry, Lucy hanya punya "intangible assets" yang unik). Sementara dengan John, semuanya mudah. Semuanya spontan. Cinta kadang memang tentang perasaan irasional, tentang insting, tentang perasaan aman dan excited yang tidak bisa dideskripsikan. Di balik rasionalitasnya sendiri - bahwa hubungan dan pernikahan bisa sebegitu mirip dengan transaksi bisnis, Lucy tetap percaya bahwa love must be on the table. And love is easy. 
"You asked how I could love you. I just do; it's the easiest thing."
MATERIALISTS IS A BROKE MAN PROPAGANDA?


Hal yang menarik dari perbincangan Materialists sebagai broke man propaganda adalah salah satu perspektif feminisme dalam menganalisis keputusan Lucy menerima John (coba baca artikel Kayla Kibbe di cosmopolitan). Lucy, seorang perempuan independen, seperti dipaksa untuk "settle for less". Moralitas cinta lebih baik dari uang seperti menghakimi Lucy sebagai cewek matre jika ia sampai lebih memilih Harry daripada John. Argumen ini juga menganalisis bahwa keputusan Lucy memilih John bisa dilakukan karena ia adalah perempuan dengan privileged dan keamanan finansial, sehingga lebih bebas memilih laki-laki. Tapi dalam sistem yang timpang saat ini - dimana secara struktural katanya perempuan masih harus bergantung pada laki-laki, bagaimana nasib perempuan lain yang tidak beruntung? 

Sejujurnya, menonton film seromantis ini di usia pertengahan 30an - saya hanya ingin menikmati sebagaimana adanya dan dengan cara "senaif mungkin". Membedah film ini dengan lensa feminisme atau ketidakadilan kelas membuat saya sakit kepala. Haha. Ah.... bisakah saya menikmati film dengan sukacita tanpa perlu dibikin merasa bersalah? (Saya membayangkan Niken usia 20-an yang cukup idealis dan rese mungkin akan mendebat saya saat ini yang jauh lebih pragmatis 😂😂).

Artikel cosmopolitan tersebut dan tuduhan Materialists sebagai sebuah brokeman propaganda sebenarnya adalah cara pandang yang valid - walau saya sendiri menolaknya dengan keras. Haha. Saya sendiri melihat Materialists hanya tentang bagaimana seorang perempuan akhirnya memilih cinta yang lebih otentik dan tulus. Ini cuma bentuk klise dari "perasaan ga bisa boong". Di Materialists, Lucy bukan superhero feminis. Ia hanya perempuan yang berusaha jujur dengan perasaannya sendiri, dan itu barangkali sudah langkah yang sangat berani.

Yang perlu saya soroti adalah Lucy memilih John dengan sebuah kesadaran yang lahir dari kedewasaaan diri. Sebelumnya ia putus dari John karena problem ekonomi. Ia tahu ini terdengar jahat (ia membenci dirinya sendiri karena ini), tapi Lucy tahu dan kita semua tahu, ia hanya bersikap realistis. Ia sendiri seorang perempuan yang logis dan kalkulatif - yang sifatnya ini sangat cocok dalam profesinya sebagai matchmaker. Tapi semua kepercayaan dirinya ini runtuh karena pelecehan yang diterima Sophie. Titik balik ini juga menyadarkannya bahwa hubungannya dengan Harry adalah transaksi bisnis belaka, dan ia menyadari bahwa cinta tetap harus masuk dalam hitung-hitungan hubungan. 

Di Materialists, Celine Song ga sedang "mempertandingkan" siapa yang lebih baik: John atau Harry. Tapi siapa yang memang dicintai dan mencintai Lucy. Maka membandingkan John lebih buruk daripada Harry karena lebih miskin is out of context (dan sejujurnya saya agak kecewa nontonin interview Celine Song yang jadi membicarakan intersectional feminism terkait kritikan ini, seperti keluar jalur dari emosi yang ingin ia capai dari filmnya sendiri 😔). Di sini, Lucy juga bukanlah perempuan dermawan atau bodoh yang memilih John. Ia hanya.... mencintai John. Sesimple itu. Lucy memilih logika cinta yang melampaui logika ekonomi atau standar sosial. Cinta kadang memang tentang hal-hal yang irasional dan absurd. Lucy memilih berhenti merasionalisasikan semua itu, dan memilih apa yang terasa tulus dan benar. 
'
See??? How could you not see that this movie is so romantiiiicccc??????

Materialists seperti mengingatkan saya pada episode hidup ketika saya berusaha "merasionalisasikan" cinta dan hubungan. Saya memakai lensa "intelektual" dalam memahami cinta (saya percaya cinta hanyalah bagian dari evolusi biologis manusia supaya sepasang manusia bisa membesarkan anak dengan baik). Di satu sisi ini bikin saya agak (terlihat) pintar, tapi di lain sisi, hal itu juga bikin saya sedikit sinis dan getir... Sampai saya bertemu dengan pasangan yang tepat: dan menyadari jatuh cinta bisa datang semudah itu. Dan kala itu..... saya biarkan saja perasaan irasional itu datang. Saya menikmati saja perasaan "berbunga-bunga" ga masuk akal itu. Walaupun perasaan berbunga-bunga itu sudah ga seperti dahulu kala, tapi saya bersyukur saya penah mengalami itu. Karena itu yang bikin hidup ini menarik dan worth it.

Komentar