Tully (2018) (4/5)


RottenTomatoes: 89% | IMDb: 7,2/10 | Metascore: 75/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre: Comedy, Drama

Directed by Jason Reitman ; Produced by Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono ; Written by Diablo Cody ; Starring Charlize Theron, Mackenzie Davis,Mark Duplass, Ron Livingston ; Music by Rob Simonsen ; Cinematography Eric Steelberg ; Edited by Stefan Grube ; Production company Bron Studios, Right of Way Films, Denver and Delilah Productions ; Distributed by Focus Features ; Release date January 23, 2018 (Sundance), May 4, 2018 (United States) ; Running time 96 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Marlo (Charlize Theron) adalah seorang ibu yang kewalahan dengan tiga orang anaknya dan suami yang sibuk bekerja. Suatu hari ia meminta bantuan night-nany, Tully (Mackenzie Davis) yang membantunya merawat bayinya.

Review / Resensi :
Salah satu sutradara kesukaan saya adalah Jason Reitman. Film-filmnya selalu punya tema yang menarik, namun dibawakan secara santai dan sederhana, dengan selingan komedi yang kerap kali bikin saya tersenyum. Beberapa filmnya, seperti Juno (2007), Up in the Air (2009) dan Young Adult (2011) punya cerita - cerita tentang hidup yang heartwarming dan personally related dengan saya. Kalo disuruh nyebutin sutradara yang tepat buat men-direct film tentang saya (jikalau emang hidup saya yang garing begini layak dibuat film), saya ga ragu bakal milih Jason Reitman (atau Noah Baumbach dan Greta Gerwig. Pokoknya bukan David Lynch, Lars von Trier, atau Tarantino lah). Kinerja terbaik Reitman adalah saat bersama screenwriter Diablo Cody, seperti di Juno (2007) dan Young Adult (2011), dan kali ini mereka bekerjasama untuk keempatkalinya. Charlize Theron kembali hadir sebagai pemeran utama setelah sebelumnya menjadi peran utama di Young Adult (It's a good movie too, you should watch it).

Tully punya cerita yang kayaknya bakal related dengan mereka yang sudah jadi ibu atau akan jadi ibu. Tully menyoroti Marlo (Charlize Theron) yang sedang hamil anak ketiganya. Sebelumnya ia sudah kewalahan dengan dua anaknya, apalagi anak keduanya Jonah merupakan anak berkebutuhan khusus. Suaminya, Drew (Ron Livingston) adalah seorang ayah dan suami yang baik, namun tetap sibuk dengan kerjanya yang menyita perhatian - menyisakan Marlo yang harus mengurus anak-anaknya. Ketika anak ketiganya lahir, Marlo kemudian menyewa seorang night-nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) (pengasuh "ninja" yang datang di malam hari) untuk membantunya merawat bayinya. Dan rupanya Tully tidak hanya merawat bayinya, namun juga merawat Marlo.
"You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true," - Tully to Marlo. 
Biarpun saya belum punya anak (dan kawin aja belum), nonton Tully seperti membuat saya ketakutan: "Am I gonna be like Marlo when I have three children?". Masih untung Marlo diperanin Charlize Theron, yang biarpun berat badannya naik 25 kg untuk peran ini - masih tetep kelihatan cakep sebagai ibu beranak tiga (she's still MILF, for God's sake. Apa kabar saya?). Lantas saya membayangkan apakah saya akan selelah dan sesetress ini ketika punya anak dan suami untuk diurus? Hei, kita semua tahu "anak adalah anugerah, harta yang paling berharga adalah keluarga, blablabla..." - tapi bukan berarti seorang ibu ga boleh mengeluh kan? Ga cuma gimana lelahnya menjadi ibu, namun Tully juga sedikit menyentil bagaimana menjadi dewasa, menjadi ibu dan istri, yang membuat kita "terpaksa" melupakan mimpi-mimpi dan keceriaan kita saat masih muda. Mengutip apa yang sering dinasehatin sepupu saya ke saya, bahwa usia dua puluh adalah saat kita menjadi idealis tentang visi hidup kita atau bagaimana kita akan berkeluarga. Namun ketika kita sudah berusia tiga puluh, dan menyadari bahwa mimpi idealis kita tidak terwujud, maka besar peluang kita akan menjadi pribadi serupa karakter Charlize Theron di film ini: lelah dan sinis. 
Your twenties are great, but then your thirties come around the corner like a garbage truck at 5:00 a.m.
Sebagaimana film-film duet Jason Reitman dan Diablo Cody sebelumnya, tentu saja "penderitaan" seorang ibu disampaikan dengan jenaka. Simak saja penggambaran bagaimana menjadi seorang ibu - mengganti popok bayi, memompa ASI, menidurkan bayi, menyusui bayi, tidak sengaja membuang ASI, tidak sengaja menjatuhkan handphone ke kepala baby hingga membuatnya menangis lagi - lewat sequence scene berulang yang ditampilkan dengan iringan lagu Tiergarten-nya Rufus Wainwright. Sangat manis dan membuat kita tersenyum. Saya juga selalu suka script garapan Cody: ringan, tapi cerdas dan menghibur. Naskahnya tidak pernah terasa dramatis dan berlebihan, tidak juga klise, namun bukan berarti tidak menyentuh. Dan itulah yang kembali ia lakukan lewat Tully. Tully terasa sangat personal untuk saya dan mungkin sebagian besar dari kamu yang merasakan hal-hal yang sama dengan apa yang dialami Marlo. Ketika kita tiba di fase menjadi ibu, dimana kita terlalu sibuk untuk memikirkan apapun, karena pekerjaan seorang ibu akan menyita seluruh perhatianmu sehingga kamu nggak bisa memikirkan hal lainnya. Mungkin kita membutuhkan Tully untuk membuka kembali perspektif kita dan mengembalikan semangat kita.
Marlo: "If I'm older, why are you so much wiser?"
Tully: "Because I'm 26! All I have is time to think about stuff,"
Well, Tully is a great movie, tapi saya merindukan Jason Reitman menggarap film kaliber Oscar sebagaimana Juno dan Up in the Air. Tully ini levelnya seperti Young Adult - film ringan nan menghibur yang tetap menyentuh, tapi tetap aja buat saya terasa kurang mewah. Ada beberapa adegan yang kurang kuat dalam membangun narasi keseluruhan (Mark Duplass as a Marlo's brother is such a waste). Saya juga menyukai selera musik Reitman (hampir semua film-filmnya punya lagu soundtrack indie lawas yang keren), dan biasanya ini mendukung membangun mood indie-movie Reitman yang saya sukai, tapi Tully tetap terasa agak biasa. Slow motion opening scene dengan iringan lagu Ride into the Sun-nya The Velvet Underground sudah sangat oke, namun kalo dibandingkan Juno yang sangat indie-artsy, Tully terasa jadi kurang wah.

Overview :
Bukan yang terbaik dari duet Jason Reitman dan Diablo Cody, namun Tully tetap mencirikan film-film keduanya: funny, sympathetic, and sweet. Filmnya ringan dan santai, tapi tidak jatuh menjadi klise dan kisah bittersweet-nya sangat heartwarming dan personally related for every modern mom in the world. Charlize Theron bermain dengan sangat baik, didukung Mackenzie Davis yang mencuri perhatian.   

Komentar

  1. sekarang niken bicara film ada di instagram guys, silahkan difollow

    BalasHapus
  2. Xixi aku lsg follow jg IG nya.
    Aku dah ntn dan mmg bikin terenyuh sih, sbg ibu2 yg (agak) telat nikah (dibandingkan dgn teman2 se geng jaman sd smp sma kuliah) , lg hamil anak kedua, khidupan single beda bgt sama khidupan pernikahan, ada suami, anak , dapur dan seabreg tugas lainnya yg menunggu (buat yg masi single, jgn khawatir, jodoh gak akan kemana dan inget nikah itu bukan sbg pintu keluar masalah (masalah jomblo sih wkwkwk) tp sbg pintu kehidupan kita di tingkat selanjutnya dgn masalah , intrik n dinamika yg berbeda. Jgn sampe jd sperti marlo saking stress nya , pinter2 membahagiakan diri jg walau sdh jadi istri n ibu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga suami juga ingat untuk membahagiakan istrinya yaaa.... hahaha

      Hapus
  3. Entah kenapa ekeu ketawa kecil pas baca "Pokoknya bukan David Lynch, Lars von Trier, atau Tarantino lah"...

    BalasHapus
  4. Niken.... br aja habis nonton film ini. Kyanya ini refleksi ibu2 banget, ibu2 yg lelah sma rutinitas, baby, kids, urus rumah & suami... dan kyannya ekeu ngalamin fase itu ya wlopun ga separah Marlo sih. Sering bgt kta yelling to kids krna kita depresi efek dari lelah lelaaah lelaaaah bgt, n after i did that, sungguh ekeu nyesel.
    Oh, btw... Tully itu kayanya bukan ninja nanny bneran apa ya? Dia cm khayalannya Marlo aja? Klo ga salah pas dibag administrasi rs after kclkaan mobil, pas petugas tnya nama gadis Marlo, suaminya jawab Tully. Apa Tully itu gambaran Marlo di masa muda, dan ini lg ada di fase Marlo lg ngangenin masa muda yg young and free. Dan pas lg di rs Tully dteng ke rs say bye2, masa klo sama2 kecelakaan, Tully ga ada luka sma sekali? Bener ga sih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. [SPOILER]
      Jadi Tully itu ya Marlo waktu jaman muda. Kalo nonton ulang pasti banyak hal yang jadi kerasa masuk akal kok. Hehe. Salah satunya kayak pas Drew (suaminya Marlo) "ngapa-ngapain" sama Tully, itu ya sebenarnya Marlo sendiri...

      Kalo dari trivia yang kubaca, emang si Diablo Cody sama Jason Reitman kepikiran ide bikin film dimana diri kita jaman muda menyelamatkan diri kita di masa tua...

      Hapus
    2. nambah dikit ya mbak, maaf spoiler; si Marlo itu sebenarnya ada penyakit Skizofernia alias suka delusional. Clue awal sdh dikasi tau sm Jason Reitman pas Marlo marah2 sama si Jonah di mobil tiba2 dia ngeliat ada Jonah jg duduk di jok depan. Clue ke-2 ada jg pas dokter nanya ke suaminya pas Marlo sdh kecelakaan, apakah suaminya tau klo Marlo itu punya riwayat penyakit kejiwaan. Tapi balik2 ke sudut pandang sih iya jg mmg bener klo Tully ini film yg ngasi gambaran semacam ngingetin kaum2 muda (khususnya cewek2) pada masa sekarang gimana utk masa tua atau masa dimana sdh bekeluarga nanti....

      Hapus
    3. Waaahh baru paham, kalo tully cuma masa mudanya

      Hapus
  5. Awalnya agak bingung sama ceritanya. Tapi mulai paham, pas dipikir2, wajah si Tully en rambutnya, mirip Marlo... Apalagi pas di akhir film, Marlo masak sambil pake headset. Hal yg Tully bilang, paling senang dia lakukan... Film yang unik. Gak bakal kepikiran twist nya kek gini... He

    BalasHapus
  6. Ya ampuun kok baru ngeh ya saya 😅 kayanya kalo ga baca blog ini saya ga pernah tau deh... Makasih salam kenal hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!