Synecdoche, New York (2008) : Analisa & Penjelasan


Beberapa hari lalu, saya dihubungi tim Elora Zine untuk menjadi salah satu kontributor pada edisi Agustus. Sebuah kehormatan untuk saya yang sudah setahun tidak menulis blog (ini baru sadar pas ngecek blog ternyata postingan terakhir Juni 2022). Tema yang ditawarkan adalah absurd. Nama pertama yang terlintas adalah David Lynch, tapi saya tidak pernah bisa nyambung dengan film-filmnya (Eraserhead and Mullholland Drive are too weird for my taste). Nama yang terpikirkan berikutnya adalah Charlie Kaufman, tapi baru inget saya belum pernah menonton filmnya Synecdoche, New York (2008). Membaca review singkatnya, saya menyadari film ini sesuai dengan tema filosofi absurdism ala Camus yang ingin saya tulis untuk Elora. Maka kemudian saya menontonnya, dan berakhir baper berhari-hari. Entah sudah berapa lama saya tidak mengalami ini: terseret arus perasaan setelah menonton film, yang kemudian membangkitkan hasrat untuk menulis. Film ini mengingatkan saya kembali betapa saya mencintai hobi ga penting ini haha.

Synecdoche, New York adalah film pertama yang disutradarai Charlie Kaufman. Sebelumnya Kaufman lebih dikenal sebagai screenwriter film-film absurd semacam Being John Malkovich (1999) dan Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004). Pada awal perilisannya, Syncdoche, New York sebenarnya mendapatkan mixed review dari para kritikus (skor RottenTomatoes-nya cuma 69%). Beberapa kritikus menyebut filmnya terlalu simbolik dan chaotic, lebih seperti ilustrasi naskah yang kurang komprehensif. Entertainment Weekly memberikan nilai D+, menyebut film ini seperti labirin dan jalan buntu yang membingungkan - walau tentu saja sebagian "egghead" akan menyebutnya masterpiece. Tapi kritikus Roger Ebert tampaknya adalah egghead yang menganggapnya masterpiece, menyebut film ini sebagai film terbaik dekade 2000an. 

Saya tidak punya cukup kapabilitas untuk sepakat dengan Roger Ebert, tapi yang jelas setelah menonton film ini saya dibikin tenggelam berkontemplasi ria berhari-hari memikirkan apa yang hendak Charlie Kaufman sampaikan di sini. Hal paling menarik adalah, ketika film ini berakhir, saya aslinya tuh cuma bengong karena ga paham sama sekali. Tapi sulit untuk tidak terbawa melankolia depresif yang diberikan Kaufman (saya menyalahkan scoring music dari Jon Brion yang super sendu! And that Little Person song... oh my...). Pada sebuah artikel saya membaca bahwa Charlie Kaufman sendiri bilang bahwa film ini lebih untuk dirasakan daripada benar-benar dipahami, dan itulah yang saya alami. Ga paham, tapi ikut sedih. Not understand it completely, but definitely it gave me something to think. Kemudian saya pun mencari-cari analisa dan penjelasan yang bisa saya temukan di internet, sehingga semuanya jadi terasa lebih masuk akal. Walau tetep aja saya ga akan klaim saya paham 100% dan besar kemungkinan analisa saya ini ga bener.

Jadi, buat kamu yang belum menonton Synecdoche, New York - ada baiknya untuk segera menonton film ini. Serius. Thank me later. Yeah, filmnya emang aneh dan berat, tapi ini adalah one-of-a-kind-movie (tapi tolong jangan salahkan saya kalau setelah nonton ini kamu akan mengalami existential crisis haha)Dan untuk yang dulu pernah menonton filmnya, ga ada salahnya untuk menonton ulang lagi. Setelah sekian lama, pendewasaan mungkin akan berpengaruh terhadap cara pandangmu melihat film ini. 

(ABSOLUTELY MAJOR SPOILER ALERT)

THE STORY


Hmmm.. merangkum film ini dalam sebuah cerita bahkan sudah cukup sulit, tapi intinya begini: Caden Cotard (diperankan mendiang Phillip Seymour Hoffman - dan mengetahui fakta bahwa beliau sudah meninggal karena overdosis bikin film ini makin sedih), adalah seorang sutradara teater yang tampaknya tengah depresi dan mengalami krisis eksistensi. Hal ini membuatnya terasing dari orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. Ia makin kesepian ketika anak dan istrinya, Adele (Catherine Keener) meninggalkannya. Hubungannya dengan banyak perempuan seperti Hazel (Samantha Morton) dan Claire (Michelle Williams) juga seringkali tidak berhasil. Caden lalu mendapatkan McArthur grant yang ia gunakan untuk membiayai karyanya berikutnya: membuat pertunjukan dari realita hidupnya sendiri dengan pentas sebesar kota New York. Ceritapun semakin absurd dari sini ketika realita dan fantasi melebur jadi sukar dibedakan, lalu seolah-olah ada pertunjukan di dalam pertunjukan yang akan membuatmu pusing ~

(Emh, 45 menit di awal akan membuatmu percaya diri, "Urgh, okee.. ini ga terlalu aneh kok...". Tapi sisa film dijamin membuatmu berpikir keras!). 

OKE, APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI?

Ada beberapa teori di internet yang berusaha menjelaskan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Salah satu penjelasan paling mudah adalah: Caden sudah gila. Dalam sebuah percakapannya dengan anak perempuannya, Olive, tentang beda sychosis dan psychosis, Olive bilang bahwa ayahnya bisa saja terkena sychosis dan psychosis sekaligus. Maka, hal-hal aneh yang terjadi adalah sekedar halusinasi karena Caden sudah gila. Teori lain juga bilang bahwa Caden mungkin sebenarnya sudah mati. Ia bunuh diri dengan melompat dari gedung saat ia membuntuti Hazel dengan keluarganya (aslinya tidak ada orang yang menyelamatkannya). Bukti dari hal ini adalah Sammy (Tom Noonan) - aktor yang berperan sebagai Caden - yang beneran melompat dari gedung di set setelah melihat Hazel dan Caden, dan perkataan karakter Ellen yang bilang bahwa "Caden is a man who already dead". Maka sama seperti teori Caden sudah gila, apa yang tengah terjadi adalah halusinasi masa lalu Caden yang mungkin sudah mati - atau ia sedang koma, terjebak di dunia antara mati-dan-belum-mati.

Jujur, saya ga suka kedua teori itu. Itu seperti merusak mood film dan menghilangkan esensinya. Ini seperti tipikal film dimana ada hal misterius yang terjadi, dan ternyata jawaban plot twistnya adalah alien. Aaaargh, sucks! (Am I talking about anything bullshit from Ancient Alien?) Saya merasa bahwa jika Charlie Kaufman adalah ahlinya bermain-main dengan kerumitan pikiran manusia, maka film ini pun pastinya begitu. Apa yang terjadi di film tidak untuk diartikan secara harfiah/literal kejadian per kejadian. Bagi saya, Charlie Kaufman berupaya menampilkan bagaimana persepsi pikiran Caden tentang hidup yang ia jalani, termasuk di antaranya orang-orang di sekitarnya, eksistensi dirinya sendiri, serta karyanya sendiri sebagai seorang artist. Terkadang ini semua juga seperti memori yang terasa campur aduk, mengabur dan berbaur dengan khayalan. Semua tidak untuk dimaknai apa adanya, tapi lihat apa yang berusaha direpresentasikannya. Kadang Charlie Kaufman menampilkannya secara metaforis, kadang hiperbolis, atau kadang dengan dark sarcasm. Saya rasa Kaufman juga berusaha melawak di beberapa scene, tapi saya agak susah untuk memahami letak lucunya.

Ketika kamu merasa film ini terlalu sureal, Charlie Kaufman seperti pengen mengingatkan: bukankah keberadaan manusia itu sendiri terasa sureal?

CADEN COTARD = CHARLIE KAUFMAN

Dalam sebuah interview yang saya baca, kabarnya ide untuk menulis Synecdoche, New York berasal dari Charlie Kaufman dan Spike Jonze yang diminta untuk bikin film horor. Kemudian Kaufman berpikir, "Bukankah eksistensi manusia itu sendiri adalah horor?". Maka ia kemudian terpikirkan untuk menulis tentang ketakutan-ketakutan manusia: kematian, kesepian, kegagalan, kecemasan, penyesalan, dan menjsdi tua. Charlie Kaufman juga kerap bilang bahwa untuk menjadi penulis yang baik, kita harus authentic (saya percaya apa yang dikatakan karakter Jake Gyllenhaal di film Nocturnal Animals: setiap penulis pasti menulis tentang dirinya sendiri, sehingga penting bagi seorang writer/artist untuk terus jujur pada dirinya sendiri). Dalam interview yang sama pun Kaufman bilang bahwa walau ia bukanlah Caden, tapi apa yang menarik perhatian Caden di film ini juga menarik perhatiannya. Apa yang menjadi concern di film Synecdoche, New York pastinya berasal dari pemikiran Charlie Kaufman sendiri. Perasaan-perasaan yang melingkupi Caden adalah perasaan-perasaan yang mungkin pernah dialami Kaufman. Krisis eksistensi Caden adalah krisis eksistensi Kaufman. Bagi saya dengan mengasosiasikan Caden dengan Charlie Kaufman sendiri - memudahkan saya untuk "mendekati" film ini, karena ini tentang seseorang yang nyata, bukan sekedar tokoh fiksi. And for me Charlie Kaufman is a genius artist and I want to explore his mind.

CADEN'S EXISTENTIAL CRISIS

Caden dalam film ini jelas mengalami krisis eksistensi diri (mungkin film ini tidak berusaha mengatakannya "out-loud", tapi apa yang Caden lakukan sepanjang film menunjukkan itu). 


Dalam dua puluh menit pertama, kamu akan melihat Caden terus menerus merasa ada yang tidak beres dengan dirinya (ia bolak balik ke dokter, memeriksa tinjanya sendiri, dan membaca koran hanya untuk membaca obituari). Ia terobsesi dengan ketakutannya akan kematian - walau kerapkali ia pun juga denial (dalam satu adegan air kencingnya tampak tidak normal tapi ia tidak memperhatikan). Di suatu adegan kamu akan melihat Caden memeriksa ketidaknormalan di kakinya, sementara TV menayangkan tayangan kematiannya dalam versi kartun, dan adegan dalam TV ini berubah menjadi berkabut ketika Caden sibuk bersih-bersih. Hal ini menunjukkan bahwa Caden mampu berhenti memikirkan kematiannya sendiri saat ia melakukan kegiatan rutinitas sehari-hari (ini yang selalu kita lakukan sebagai manusia bukan?). Segala penyakit yang ia alami (saat ia kejang-kejang, kehilangan kemampuan untuk menelan, atau ketika kakinya tremor) adalah olok-olok hiperbolis Kaufman tentang paranoid Caden. Semakin ironis bahwa Caden begitu cemas dengan kematian, tapi ia justru ditinggal meninggal duluan oleh orang-orang terdekatnya. 

"I will be dying and so will you, and so will everyone here. That's what I want to explore. We're all hurtling towards death, yet here we are for the moment, alive. Each of us knowing we're going to die, each of us secretly believing we won't."

Caden is a miserable person too. Ia tidak bisa terhubung dengan orang-orang di sekitarnya (beberapa kali ia misscommunication dengan dokter-dokter yang menanganinya dan istrinya sendiri). Orangtua dan istrinya tidak mengapresiasi karyanya. Ia tampak begitu kesepian, mencoba bertahan dalam pernikahan yang tidak membahagiakan. Ia - sebagaimana kita semua - mendambakan orang yang bisa benar-benar memahami dan mencintai dirinya. Ia menginginkan sesuatu yang bisa membuatnya utuh. Kesempatan ini bisa saja terjadi saat ia dekat dengan Hazel, tapi ia kemudian mengacaukannya. Rasa kesepiannya semakin menjadi ketika ia berpisah dari istri dan anaknya sendiri. Semua hal ini membuatnya semakin tidak bahagia. Ia hidup, tapi serasa mati (last name-nya, Cotard, bahkan merujuk pada Cotard Delusion - kelainan psikologis dimana seseorang yakin bahwa dirinya sudah mati).

CADEN AND EVERYONE ARE SELF CENTERED

"I've watched you forever, Caden, but you've never really looked at anyone other than yourself."


Begitu sial, karena segala pesimisme, anxiety, dan depresi yang melingkupi Caden secara tidak langsung membuatnya menjadi orang yang self-centered. Obsesi Caden pada diri sendiri sebenarnya juga tidak diperlihatkan Kaufman secara frontal. Mungkin karena bagi Kaufman, keegoisan ini bukanlah sesuatu yang sekedar "jahat" belaka, tapi memang hal wajar yang terjadi pada orang yang begitu kesepian dan tidak bahagia, dan mungkin egoisme juga bagian dari natural human being. Kita bisa melihat bagaimana Caden "terpisah" dari dunia luar. Dalam suatu adegan kamu melihat Caden berjalan keluar set warehouse, dimana tampaknya dunia sedang tidak baik-baik saja (ada suara tembakan dan orang-orang seperti tengah mengungsi) tapi Caden tampak tidak peduli. Berita yang beredar di radio dan koran juga berkisar tentang wabah dan bencana, tapi Caden juga tampak tidak memperhatikan. Ada pula satu adegan juga yang menunjukkan Caden tidak mau menahan lift saat ada seorang lelaki tua memintanya. Caden apatis dan egois, tapi bukankah kita semua juga begini? 

Sepanjang film kita juga akan melihat bagaimana orang-orang di sekitar Caden pun melakukan hal yang kurang lebih sama. Dokter yang tidak empati terhadap pasiennya (dan justru memperburuk kecemasan Caden dengan menyuruh Caden memeriksakan kesehatannya ke dokter lain), psikolog yang selalu memotong pembicaraan Caden dan menyuruh Caden membeli buku-buku motivasinya, hingga sang mantan istri Adele yang pergi meninggalkan Caden begitu saja. Banyak orang yang tidak bisa memahami perasaan Caden, karena semuanya punya masalahnya sendiri-sendiri.  

"Maybe because no one wants to hear about my misery, because they have their own. Well, fuck everybody. Amen."

CADEN'S ART VISION


Ketika mendapatkan McArthur grant, Caden kemudian bersemangat untuk menuangkan "dirinya sendiri" pada karya seni teaternya. Ia bilang, "Something big, true, and tough. I'm gonna finally put my real self into something". Ini adalah upayanya untuk menjadikan eksistensinya signifikan dan mungkin kesempatan untuk merasa bersemangat lagi. Namun perfeksionismenya ini tampaknya menggerogoti dirinya sendiri, mengkonsumsi isi pikirannya sendiri, membuatnya makin berkutat pada depresinya dan kehilangan kontrol, dan makin menjauhkan Caden dari hidup yang menyenangkan untuk dijalani (bagi saya, seluruh vibe sureal yang terjadi saat Caden merancang karyanya ini menunjukkan itu). Ia kesulitan untuk memisahkan karya seni dari realita hidupnya sendiri, bahkan berharap bisa mendikte orang-orang lain di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia inginkan. 

Caden tampaknya sepakat dengan God Bless, menganggap dunia ini adalah panggung sandiwara, dan kita adalah aktor-aktor yang bergerak di dalamnya ("None of those people is an extra"). Ia ingin menunjukkan dirinya sendiri dan menampilkan realita hidupnya sendiri - tapi ia sendiri kesulitan memahami dirinya sendiri, dan memilih realita hidup seperti apa yang ingin ia tampilkan. Ia ingin menampilkan kebenaran tentang hidup, tapi apa itu kebenaran hidup? adakah kebenaran hidup itu? Bukankah hidup itu sedemikian absurd untuk kita pahami? Semua kebingungan dan kesempurnaan yang ia kejar justru menjadikan karya seninya makin besar dan makin besar... tapi tidak pernah selesai dan tidak membawanya kemana-mana ("It's been 17 years!"). Mungkinkah, mencari kebenaran absolut dan makna hidup adalah sebuah upaya sia-sia karena memang tidak pernah ada? (Hmm.. sounds very absurdist).  

Kita juga bisa melihat bagaimana Caden dan Adele, yang sama-sama seorang seniman, begitu berbeda dalam berkarya. Pertunjukan Caden makin lama makin besar dan makin kompleks, namun karyanya tidak pernah selesai. Sebuah buku rasis karya anak 4 tahun bernama Horace Azpiazu tampaknya adalah olok-olok sarkas terhadap insecurity Caden. Seperti, hey anak 4 tahun aja udah bisa nulis buku dan difilmkan lho! Sementara Adele, kita bisa melihat sebagai pelukis lukisan mini, karyanya makin lama makin kecil. Ini seperti metaforis bagaimana Caden terlalu fokus pada makna realita dan kompleksitas hidup, sementara Adele mengesampingkannya dan begitu sederhana menjalani hidup (“When I look, I see. When I see, I paint. It’s that simple"). Caden yang terlalu "mendalam" memikirkan ini semua menjadikan karyanya tidak pernah selesai, sementara Adele justru sukses besar. Obsesi Caden pada kemungkinan kematiannya membuatnya semakin miserable, sementara Adele - yang bahkan mengabaikan batuk-batuknya yang menjadi pertanda kanker paru-paru, mampu menikmati hidup yang singkat ini.

CADEN AND HIS LOVE LIFE


Tidak hanya depresif, Caden juga adalah pria yang sulit. Ia mengeluh, "Why I must complicate everything?". Hazel bahkan bilang bahwa Caden is no fun. Tentu saja ini berpengaruh terhadap kehidupan percintaannya.

Dengan Adele, Caden jelas tidak mempunya kecocokan. Atau mungkin pada awalnya mereka mempunya kecocokan, namun kemudian tidak lagi (Adele bilang, "Everyone is dissapointing the more you know them"). Mereka mempunyai cara berbeda dalam menghadapi hidup. Adele juga tidak bisa mengapresiasi visi seni suaminya sendiri.  Dalam film ini kita bisa melihat Adele meninggalkan Caden begitu saja dengan membawa Olive, tapi siapa sesungguhnya yang meninggalkan siapa? Adele meninggalkan Caden mungkin adalah persepsi Caden, tapi Sammy sendiri menanyakan Caden, "Why did we leave Adele, Caden?". Dalam pernikahan mereka sendiri, Caden mungkin tidak pernah benar-benar hadir. Ia terlalu terobsesi dengan dirinya sendiri yang pastinya melelahkan bagi Adele. Mungkin sebenarnya Cadenlah yang telah lama meninggalkan keluarganya sendiri. Caden adalah belenggu bagi Adele.

Sayangnya, Caden tidak pernah benar-benar menyadari itu. Ia bertahan di pernikahan yang tidak bahagia, sekedar bertahan tanpa benar-benar tahu alasannya. Hal ini malah menjauhkan dari kesempatan yang bisa ia dapatkan bersama Hazel, the true love of his life. Saat hubungan mereka tidak berhasil, Hazel justru bertemu dengan Derek (dalam persepsi Caden, ia mengolok-olok Derek sebagai "lelaki tidak jelas yang tinggal di basement"). Caden sendiri kemudian menjalin hubungan dengan Claire. Caden adalah pasangan klise bagi Caden (seorang sutradara dan aktrisnya), tapi Claire jelas hadir sekedar sebagai pengganti dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan Adele. Caden mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan di pernikahan pertamanya - tidak pernah benar-benar mempedulikan Claire dan anak perempuannya (terlepas anak ini beneran ada atau tidak). Tentu saja hubungan ini pun tidak berhasil.

Caden dan Hazel kemudian berhubungan lagi saat sudah sama-sama tua. Ketika keduanya sama-sama dekat dengan sosok pengganti masing-masing. Caden dengan aktris yang berperan sebagai Hazel, Tammy (Emily Watson) dan Hazel dengan Sammy. Setelah sama-sama menyadari kebodohan masing-masing, bahwa mereka tidak pernah bisa saling melupakan, akhirnya mereka bersatu lagi... ("I wish we had this when we were young. And all those years in between"). Tragisnya, hubungan mereka hanya mampu berjalan sebentar. Tak lama kemudian, Hazel meninggal karena api yang membakar rumahnya (dimana ia sebelumnya sudah mengetahui kemungkinan mati karena ini saat membeli rumah itu, tapi ia tetap membelinya. Begitulah takdir apapun termasuk kematian terjadi karena pilihan yang kita buat, dan kita harus siap menanggung resikonya. Hazel menanggung resiko itu). 

"I know how to do the play now. It will all take place over the course of one day. And that day will be the day before you died. That day was the happiest day of my life. Then I'll be able to live it forever. See you soon."

CADEN AND OLIVE


Hubungan Caden dengan anak perempuannya tampaknya juga lebih kompleks. Olive yang tumbuh dewasa tanpa bertemu lagi dengan Caden membuat Caden merasa kehilangan anak perempuan manis dan naif yang pernah dikenalnya. Proyeksi ketakutan ini ia wujudkan dalam bentuk Olive yang bertato dan Olive yang menjadi stripper. Bisa juga ini adalah proyeksi bagaimana Caden tidak berdaya lagi untuk menemani dan membantu Olive.

Caden membaca diary Olive (dengan suara Olive yang beraksen Jerman) yang menghina dan mengasihani ayahnya sendiri, adalah khayalan dan kecemasan Caden bahwa anaknya membencinya. Caden juga tampaknya menganggap Maria (Jennifer Jason Leigh) adalah sosok main villain yang memisahkan Caden dengan Olive. Kecemasan utama Caden adalah ia merasa emasculated sebagai seorang ayah. Itulah kenapa saat perpisahan terakhir Caden dengan Olive di rumah sakit, Olive bilang bahwa ayahnya homosexual. Itu sekedar metaforis lebay yang membuat Caden merasa terkebiri perannya sebagai seorang ayah. Sebagai seorang ayah dan seorang pria, ia merasa takut dan sedih karena anak perempuannya sendiri menganggapnya rendah.

Dan semakin buruk, Caden sendiri sebenarnya tidak mampu terhubung dengan anak perempuannya sendiri. Itulah kenapa ia membelikan box konyol bergambar hidung hanya karena warnanya pink.  

SAMMY AND ELLEN


This part is mooooreee confusing hahaha. Sammy adalah aktor yang berperan sebagai Caden, yang ternyata telah membuntuti Caden selama 20 tahun ini (kalau menontonnya ulang, kamu akan menyadari bahwa kehadirannya dimana-mana sebelum akhirnya beneran muncul). Bagi saya, Sammy ini adalah alter-ego Caden. Ia adalah Caden dalam versi yang lebih fun dan berani. Caden ingin seseorang yang lebih authentic, yang lebih bisa jujur dengan dirinya sendiri, bisa memerankan karakternya di panggung realita hidupnya. Itulah kenapa Sammy mampu mendekati Hazel atau menemukan apartemen Adele (Caden pergi ke apartemen Adele adalah upayanya untuk mengenang dan kembali ke masa lalunya). Dan ketika Sammy mati bunuh diri melompat dari gedung, ini merupakan simbol bahwa Caden pada akhirnya sudah tidak butuh kehadiran Sammy lagi, karena ia telah bisa bersama Hazel.

And next, who the hell is Ellen? 


Jujur aja, siapa Ellen (Dianne Wiest) adalah bagian paling membingungkan dari seluruh rangkaian cerita film ini. Ini bagian paling bikin saya bengong dan "hah gimana-gimana??". Saya membaca di salah satu blog, yang berteori bahwa Ellen sebenarnya adalah tokoh utama dalam film ini, dan Caden adalah sosok pengganti/alter-ego yang dikhayalkan Ellen. Jika itu memang benar, maka paragraf-paragraf yang saya tulis dengan penuh dedikasi di atas tidak ada artinya. Hahaha. Ada lagi yang beranggapan bahwa Ellen menggambarkan keinginan Caden untuk menjadi seorang transgender. Memang dalam beberapa adegan kamu akan mendengar Caden kerap disangka sebagai Ellen (termasuk kala Caden menelpon Adele dan Adele memanggilnya Ellen), atau bagaimana Claire menuduh Caden memakai lipstick dan beraroma seperti darah menstruasi.

Tapi kalau saya sih menganggap Ellen justru fictional character yang dikhayalkan Caden sendiri. Ellen adalah "what-if" situation yang dikhayalkan Caden: apakah jika aku terlahir sebagai perempuan, hidupku akan berbeda? Apakah hidupku akan lebih baik dan mudah jika aku terlahir sebagai perempuan dan bekerja sebagai cleaning lady? (Karena Caden tampaknya mampu melupakan masalahnya saat ia bersih-bersih). Ellen melambangkan puncak identity crisis dan self-loathing issue yang dimiliki Caden. Hal ini memuncak di masa tuanya, ketika Caden telah mengubur sosok Sammy dan menggantinya dengan sosok Ellen. Ellen bahkan tidak hanya mengambil alih tugasnya sebagai sutradara teaternya, ia juga menjadikan Ellen sutradara dalam hidupnya sendiri. Menyuruh Caden melakukan sesuatu sambil menunggu waktu. Namun sayangnya, karakter fiksi Ellen pun ia bayangkan mungkin juga akan sama kesepiannya dengan dirinya. Terjebak pada pernikahan yang tidak bahagia. Menua sambil menyesali karena tidak memiliki setidaknya satu anak. Menua sambil terus mencari makna hidup. 

Baik sebagai Caden maupun sebagai Ellen, ini semua tidak bisa dicegah. Mungkin takdir manusia adalah menua dengan penuh penyesalan. Mungkin takdir manusia adalah terus mencari makna hidup dan tidak pernah menemukannya. Sounds depressing? Well, Albert Camus seems had a solution ~

ABSURDISM

Apa yang paling menggugah saya kala menonton film ini adalah karena krisis eksistensial Caden beresonansi dengan kegelisahan saya. This is just not a story about Caden. This is a story about us. Dan yang bikin menyedihkan adalah film ini berakhir tanpa memberikan kesan optimis sama sekali. Buat saya yang kerap mengalami existential dread, jelas menonton film ini malah membuat depresi haha. Setelah usia tiga puluh tahun, saya bahkan berhenti menghitung umur lagi setiap ulang tahun, karena menua itu tidak enak dan mengerikan. Di film ini sendiri, waktu adalah elemen penting yang perlu kamu perhatikan. Di lima belas menit pertama kamu akan melihat bagaimana Kaufman memainkan waktu yang ada lewat suara berita di televisi, radio, tanggal expired di kotak susu, tanggal di koran, hingga kalender yang tergantung di ruangan dokter. Kamu juga melihat bagaimana Caden kebingungan menghitung berapa lama Adele telah meninggalkannya atau berapa usia Olive. Charlie Kaufman ingin menunjukkan bagaimana waktu berlalu tanpa terasa, dan semakin tidak terasa saat kamu sudah semakin tua. Time is slips away.

"What was once before you - an exciting, mysterious future - is now behind you. Lived; understood; disappointing. You realize you are not special. You have struggled into existence, and are now slipping silently out of it. This is everyone's experience. Every single one. The specifics hardly matter. Everyone's everyone."

Kadang, saat menengadah ke langit malam, saya tidak lagi melihat sekumpulan bintang bertaburan yang cantik dan indah. Saya melihat eksistensi saya yang tidak berharga. Saya adalah kebetulan absurd yang terjadi di planet bumi, hasil dari anekamacam kebetulan evolusioner beratus juta tahun. Bagaimana menemukan makna hidup di alam semesta yang apathetic seperti ini? Bagaimana merasa signifikan di alam semesta seluas ini? Sebagian orang menemukan comforting zone dengan menyandarkan eksistensinya kepada yang Maha Tinggi. Yes, we do have a purpose, and after we die, we gonna live in an eternal life. Sebagian orang lainnya melakukannya seperti yang disarankan Albert Camus: menerima hidup memang absurd dan tak bermakna, tapi enjoy aja!

Albert Camus dalam karyanya yang paling terkenal, Myths of Sisyphus, mengibaratkan manusia seperti Sisyphus. Sisyphus adalah raja Yunani yang dihukum Zeus untuk mendorong batu hingga ke puncak bukit, namun di puncak bukit batu itu menggelinding lagi ke bawah, dan Sisyphus harus mendorongnya lagi. Begitu seterusnya. Bagi Camus, manusia selayaknya Sisyphus dengan batunya masing-masing. Manusia memenuhi kebutuhan hidup (seperti mendorong batu) tanpa benar-benar memahami makna hidupnya. Tapi untuk apa manusia berhasrat mendorong batunya terus ke atas bukit jika batunya terus menggelinding ke bawah? Bagi Camus, inilah ketidakbermaknaan hidup. Ini kutukan mengerikan, namun Camus bilang: “The struggle itself towards the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.”

Caden di Synecdoche, New York adalah contoh buruk dari Sisyphus yang tidak bahagia. Ia menggelindingkan batu sambil terus menerus menganggap yang ia lakukan adalah kutukan mengerikan. Ia terjebak akan obsesinya pada kematian, pada upayanya untuk merasa signifikan, pada penyesalannya, pada ketidakberaniannya, pada ketidakberdayaannya. Ia terus menerus mencari makna hidup hingga mati, hanya untuk menemukan apa yang ia lakukan sia-sia belaka. Caden adalah sosok yang diungkapkan Camus, bahwa ketidakbahagiaan manusia berasal dari hasrat kita akan pencarian makna tapi tidak menemukannya. Kamu tidak akan bisa bahagia jika kamu terus mencari kebahagiaan itu apa. Kamu tidak akan pernah hidup jika kamu terus menerus mencari makna hidup. Maka nilai moral yang dipetik dari film ini tampaknya sesimple: "Don't be like Caden!".

"I know what to do with this play now. I have an idea. I think..." 
[Die]

Caden pada awalnya menganggap bahwa pertunjukkannya adalah tentang kematian. Namun kemudian ia yang sudah menua, melihat Sammy memberikan perintah pada dua orang aktor: "It's not a play about dating. It's about death!" dan ia lantas mengoreksinya dengan bicara kepada Hazel, "It is a play about dating. It's not a play just abouth death. It's about everything. Dating, birth, death, life, family.. all that". Seiring waktu, ia lalu menyadari bahwa pertanyaan eksistensinya tidak harus berujung pada kematian, namun juga hal-hal yang terjadi di antaranya. Hal-hal yang membuat kita menikmati hidup. Hal-hal remeh yang membuat hidup tidak buruk-buruk amat. Dan hal-hal besar yang membuat hidup kita patut disyukuri: cinta, sahabat, keluarga. Ini tentu saja sesuai dengan semangat pragmatis absurdism: "Yeah, life is an absurd and meaningless. But let's get some fun!"

Komentar