Review: Once Upon a Time... in Hollywood (2019) (4,5/5)


Hey! You're Rick fucking Dalton. Don't you forget it.

RottenTomatoes: 85% | IMDb: 8/10 | Metascore: 83/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: 17+ | Genre: Comedy, Drama

Directed by Quentin Tarantino ; Produced by David Heyman, Shannon McIntosh, Quentin Tarantino ; Written by Quentin Tarantino ; Starring Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Emile Hirsch, Margaret Qualley, Timothy Olyphant, Austin Butler, Dakota Fanning, Bruce Dern, Al Pacino ; Narrated by Kurt Russell ; Cinematography Robert Richardson ; Edited by Fred Raskin ; Production company Columbia Pictures, Bona Film Group, Heyday Films, Visiona Romantica ; Distributed by Sony Pictures ; Releasing Release date May 21, 2019 (Cannes), July 26, 2019 (United States), August 14, 2019 (United Kingdom) ; Running time 161 minutes ; Country United States, United Kingdom ; Language English ; Budget $90–96 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Once Upon a Time... in Hollywood bercerita tentang tiga orang: Rick Dalton (Leonardo diCaprio), aktor yang belakangan menyadari pamornya mulai turun; Cliff Booth (Brad Pitt), stunt-double Dalton sekaligus asisten dan sahabatnya; dan Sharon Tate (Margot Robbie), aktris muda yang karirnya tengah menanjak. 

Review / Resensi:
Hollywood, 1969. Semua orang tampaknya gemar merokok, para hippie berkeliaran di jalanan, perempuan tidak mencukur bulu ketiak (dan itu seksi), sutradara asal Polandia Roman Polanski baru saja merilis Rosemary's Baby yang sukses, dan Spaghetti Western sedang berjaya. Rick Dalton (diperankan dengan sangat baik oleh Leonardo diCaprio), adalah seorang aktor yang merasa karirnya mulai turun. Setelah sebelumnya sukses menjadi pemeran utama di serial TV Bounty Law, pekerjaan yang ditawarkan kepadanya belakangan hanya menjadi villain atau muncul di episode pilot. Cliff Booth (diperankan Brad Pitt, ini adalah peran tipikal jagoan yang cocok sekali diperankan olehnya), adalah stunt-double Rick Dalton yang kemudian menjadi sahabat baik Rick Dalton dan juga merangkap segalanya bagi Dalton: asisten, supir, tukang benerin antena, dan motivator (Hey! You're Rick fucking Dalton! Don't you forget it). Duo Rick Dalton dan Cliff Booth ini adalah tokoh fiktif yang kabarnya terinspirasi bebas dari pertemanan Burt Reynolds dan stunt-mannya, Hal Needham. Di lain sisi, ada Sharon Tate (Margot Robbie) istri Roman Polanski (kali ini keduanya adalah tokoh nyata), aktris muda yang tengah membangun karirnya dan tinggal di sebelah rumah Rick Dalton.   

Apa yang dilakukan oleh Quentin Tarantino (selaku penulis naskah dan sutradara) di film Once Upon a Time... in Hollywood mungkin akan mengingatkan kita dengan apa yang pernah dilakukannya di filmnya tahun 2009, Inglorious Basterds. Tarantino lagi-lagi menciptakan alternate reality dengan menggabungkan kisah fiksi dengan kisah nyata. Di film ini, Tarantino menggabungkan dua karakter fiksi, Rick Dalton dan Cliff Booth, dengan salah satu tragedi paling tragis yang pernah terjadi di Hollywood: pembunuhan Sharon Tate oleh Manson Family.


Sebelum menonton film ini, saya rasa kamu perlu tahu dulu tentang pembunuhan Sharon Tate oleh Manson Family. Ini bukan spoiler lho. Kalau kamu tahu lebih dahulu, maka kamu bisa menghayati film ini dengan lebih baik sambil berharap bahwa realiti alternatif dari kepala Tarantino ini mampu mengubah peristiwa menyedihkan ini di kehidupan nyata. Sebagian besar cerita dalam film ini kurang lebih juga persis dengan apa yang sebenarnya terjadi: Charles Manson dan para pengikutnya yang tinggal di Spahn Ranch, para korban pembunuhan, para pelaku pembunuhan, hingga kalimat "I'm the devil, I came to do devil's business" yang diucapkan oleh salah satu pelaku pembunuhan. Walaupun begitu, Boots Riley dikabarkan menyayangkan Tarantino yang tidak memasukkan unsur Helter Skelter ke dalam film ini. 

Short story here, buat yang belum tahu tragedi ini. Charles Manson adalah salah satu pelaku kriminal paling sinting yang pernah ada di dunia. Sebelum pembunuhan Sharon Tate ini terjadi, Charles Manson udah bolak balik masuk penjara. Setelah keluar dari penjara, ia kemudian mendirikan sekte yang anggotanya kebanyakan perempuan muda (dan kemudian media menyebutnya "Manson Family", dan saya ga tahu kenapa banyak orang yang mau gabung sekte semacam ini) dan tinggal di Spahn Ranch (di film ini pemilik Spahn Ranch, George, diperankan oleh Bruce Dern). Charles Manson sendiri adalah seorang musisi, ia bahkan kenal dekat dengan Dennis Wilson (drummer Beach Boys). Ia juga dikabarkan terobsesi dengan The White Album-nya The Beatles dan menginterpretasikan dengan ngawur lirik dalam lagu Helter Skelter sebagai perang ras yang akan terjadi. Pada bulan Juli-Agustus 1969, ia bertanggung jawab terhadap 9 pembunuhan yang tersebar di Los Angeles yang dilakukan oleh para pengikutnya. Namun pembunuhan Sharon Tate - kala itu mengandung 8 bulan, yang akhirnya berhasil menjeratnya dan para pengikutnya, dan mengungkapkan misteri pembunuhan-pembunuhan lainnya. Walaupun didakwa hukuman mati, pada akhirnya hukuman ini diganti hukuman penjara seumur hidup seiring dengan dicabutnya hukuman mati di negara bagian California. Dan ia baru meninggal pada usia 83 (nyebelin ga sih?).

Walaupun bercerita tentang tragedi menyedihkan ini, tapi perlu diketahui dulu bahwa Once Upon a Time... in Hollywood tidak memfokuskan cerita pada peristiwa itu. Sebaliknya, fokus cerita ini sesungguhnya ada pada Rick Dalton dan Cliff Booth. Sebagian kritikus menyebut film ini sebagai sebuah surat cinta dari Quentin Tarantino untuk Los Angeles, dan sebuah film yang diciptakan oleh seorang cinephille kepada para cinephille lainnya. Banyak referensi yang merujuk pada industri perfilman di era tahun 1960-an, dan tentu kita sudah cukup memahami kecintaan Tarantino terhadap film-film western. Masalahnya buat saya, saya ga terlalu familiar dengan film tahun 60-an, dan memang kesulitan untuk menyukai film-film lawas di bawah tahun 80-an selain film horror. Saya rasa "gap" ini juga yang mungkin terjadi bagi penonton awam, dan akan merasa sebagian besar cerita dalam film ini membosankan. Saya aja menguap beberapa kali sepanjang dua pertiga awalnya, dan dalam hati ingin berteriak "Ayo donk mana darah-darahnya!". Bahkan film kedelapan Tarantino, The Hateful Eight (2015), yang hanya melemparkan darah-darah di bagian akhirnya, setidaknya menawarkan misteri yang bikin penasaran dan menarik atensi sepanjang filmnya.

Bagi penonton awam yang menyukai Tarantino dalam kadar standar, mungkin berpikir film Tarantino ini kurang gore dan sadis (film ini kayaknya filmnya yang paling sopan deh) . Tapi bagi pecinta Tarantino sejati, pasti akan merasa bahwa film kesembilan Tarantino ini terasa lebih dewasa dari film-film sebelumnya. Terutama, bagaimana ia menampilkan Sharon Tate. Sebagian besar orang berpendapat bahwa Margot Robbie sebagai Sharon Tate hanya hadir sebagai pelengkap dan menginginkan ia diberikan screen-time lebih banyak lagi. Tapi buat saya ini adalah cara Tarantino melakukan semacam tribute yang terasa personal. Ia menunjukkan sisi lembut, kenaifan, dan optimisme Sharon Tate yang akan membuat kita mencintai Sharon Tate. Saya menyukai adegan Tate menonton filmnya sendiri di bioskop (dan menampilkan film yang diperankan Sharon Tate yang asli), ia sungguh terlihat sebagai aktris yang mencintai akting dan menikmati reaksi penonton yang tertawa melihat akting komedinya di film tersebut. Adegan ini (dan adegan akhirnya) terasa menyentuh, terutama jika kamu sudah tahu tragedi sesungguhnya. 

Tapi Tarantino adalah Tarantino. Dan film ini tetaplah film Tarantino banget. Kamu mungkin akan bersorak kegirangan saat mengenali beberapa adegan yang merujuk pada film Inglorious Basterds, multiparalel story dengan dialog satir komedi yang cerdas dan khas Tarantino (mengingatkan saya dengan Pulp Fiction), aktor dan aktris kesayangan Tarantino (Michael Madsen, Zoe Bell, Kurt Russel), merk rokok rekaan Tarantino Red Apple (kali ini ditambah merk makanan anjing Wolf's Tooth dengan rasa tikus), kecintaan Tarantino terhadap kaki perempuan (seriously, this man has some female bare feet fetish), selera musik lawas Tarantino, hingga kesukaannya menghajar karakter perempuan (untuk yang terakhir ini sebagian orang menyebut Tarantino sangat misogynist, walaupun saya merasa dugaan ini agak paradoks: kenapa kita boleh menyiksa karakter lelaki dan ga boleh menyiksa karakter perempuan?). Dan ya, ada momen intens yang terasa mendebarkan kala Cliff Booth dipertemukan pertama kali dengan Manson Family - sebuah transisi dari komedi ke horror yang sangat tiba-tiba tapi berhasil. Oh dan jangan lupakan climatix scene di bagian akhirnya yang akan memuaskan penantian kita (walaupun tentu saja kita butuh lebih!).


Film ini (kalau saya ga salah), memasangkan untuk pertama kalinya Leonardo diCaprio dan Brad Pitt dalam satu film. Saya menyukai chemistry asyik di antara keduanya, dan bikin saya bertanya-tanya kenapa ga pernah ada film sebelumnya yang memasangkan kedua aktor hebat ini. Brad Pitt tampil menawan dengan pesona khasnya sebagai pria macho (ia tidak kesulitan mengalahkan Bruce Lee di film ini). Tapi saya pribadi sih paling menyukai akting Leonardo DiCaprio. Menyenangkan bahwa ini peran pertamanya setelah The Revenant (ia vakum cukup lama rupanya, mungkin sibuk berkencan dengan model-model cantik sambil menyelamatkan bumi). Cukup keren melihat Leonardo DiCaprio berperan dalam 2 layer di film ini (ia sebagai Rick Dalton, dan sebagai peran-peran yang diperankan Rick Dalton). Range aktingnya luas sekali: tampak sedikit bodoh, frustasi, dan cengeng sebagai Rick Dalton, dan menjadi penjahat keji di peran yang dikerjakannya. Yang juga cukup mencuri perhatian adaah Pussycat (Margaret Qualley - putri Andy McDowell), karakter komposit dari Manson Family yang menggoda karakter Brad Pitt. Akting genitnya saya rasa akan menjadikannya sebagai idola baru cowok-cowok penggemar Tarantino.

Overview :
Film kesembilan Tarantino ini mungkin akan sedikit mengecewakan dan membosankan bagi kebanyakan penonton awam. Tapi cinephille yang mencintai film akan mencintai film ini dan merasakan bahwa Once Upon a Time... in Hollywood adalah sebuah tribute dari Tarantino kepada dunia yang dicintainya. Leonardo diCaprio dan Brad Pitt menciptakan dynamic duo yang menjadi kekuatan dalam film ini,  dan jangan lupakan dialog cerdas dan narasi unik khas Tarantino yang tetap saja menyenangkan kita semua. Probably not the best from Tarantino (karena sulit memang harus bersaing dengan diri sendiri), tapi ini adalah karya Tarantino yang cukup dewasa dan patut dinikmati. 

Komentar

  1. selalu ngeliat film ga dari satu sisi..keren mba niken..lanjutkann

    BalasHapus
  2. Bener kata mba niken, kenapa baru skrg ya brad pitt sama leonardo disandingin, krna disaat nonton film ini rasanya 2 karakter ini bener2 imbang dalam berperan, biarpun brad pitt punya jatah scene yg lbh dikit, tp dia sukses bikin penonton ga cuma nunggu scene leo aja, krna saya pribadi pas liat scene leonardo sendirian pasti nungguin scene brad pitt jg, gitupun sebaliknya, utk acting margot robbie jg bener2 halus di film ini, cewe yg 1 ini bener2 bisa maksimalin perannya

    BalasHapus
  3. Ada satu adegan unik pas rick dalton ngobrol dengan pemuda yg jd pemeran utama cowboy sebelum mereka syuting. Si pemeran utama adegannya terpotong gitu. Awalnya melepas topi tiba2 udah pake topi aja. Jarang banget ada film sekelas Hollywood editing videonya kayak amatir. Menurut aing ini the best moment sih.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. kak review lagi dong tentang film dark/black comedy sebanyak-banyaknya wkwkkwkwkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!