Rubrik Baru : Belajar Hidup dari Film

One of my favorite scene in American Beauty (1999). Sejak lihat scene ini saya jadi terpesona melihat daun dan tas kresek yang tertiup angin. 

Halo, para pembaca. 

Usia blog Niken Bicara Film ini sudah mencapai delapan tahun - waktu yang cukup lama. Saya teringat awal pertama menulis blog, betapa saya masih terbata-bata saat menulis dan menjabarkan bagaimana sebuah film dikatakan bagus dan jelek. Kamu bisa membaca tulisan-tulisan lama saya, dan menertawakan betapa konyol dan buruknya saya tulisan kala itu. Sengaja saya tetap memasangnya di blog ini tanpa mengeditnya terlalu banyak, supaya menjadi pengingat buat saya (dan mungkin buat beberapa pembaca setia di blog ini - jikalau memang ada yang setia) bahwa menjadi mahir menulis itu membutuhkan proses yang tidak sebentar, dan sampai sekarangpun tulisan saya masih pula tidak karuan. (Tapi ngomong-ngomong, selama delapan tahun saya menyadari saya adalah penulis yang lambat dan moody, bahkan hingga saat ini. Nulis satu artikel biasanya memakan lebih dari 4 jam dan kadang ketika mood mendadak hilang jadi terbengkalai beberapa hari - atau bahkan menjadi sampah draft yang akhirnya dihapus).

Belakangan saya juga menyadari bahwa saya memiliki ketertarikan khusus terhadap film-film yang filosofis, terutama yang berkaitan dengan filosofi hidup. Pengalaman hidup saya mungkin tidak sebanyak dan seramai kebanyakan orang (kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan hidup saya: biasa-biasa saja), tapi saya suka menganalisa hidup dan manusia (itulah kenapa cita-cita saya yang lain adalah jadi konsultan percintaan - biarpun saya belum kawin). Dan bukankah Socrater pernah berujar, "The unexamined life is not worth living"? Buat saya, hal paling menarik di dunia ini adalah manusia dan hidupnya. Itulah kenapa akhir-akhir ini saya hobi banget baca buku-buku yang berkaitan dengan sejarah, peradaban, antropologi, psikologi, sains evolusi, seksualitas manusia, agama, dll. Karena pengaruh sepupu saya juga, akhir-akhir ini saya juga suka membaca curhatan hidup orang di forum internet dan blog (saya tahu ini hobi yang aneh). Sebagai perempuan saya gemar bergosip, tapi selain di balik nggosip saya juga menganalisa masalah hidup orang lain. Oh yes gossip makes me alive!

Film, selain unsur menghibur (movie as an industry) dan artistiknya (movie as an art), buat saya juga bisa dilihat dari nilai lainnya: moral story atau pelajaran hidup. Ada beberapa film yang buat saya punya pesan-pesan baik nan filosofis yang membutuhkan semacam esai untuk menjabarkan apa yang ingin disampaikan oleh sang sutradara, penulis naskah, atau mungkin sang produser. Sebuah film harusnya sudah bisa menyampaikan pesan ini dengan jelas, namun karena terbatas masalah narasi dan durasi, maka pesan-pesan yang disampaikan kadang jadi kurang jelas dipahami oleh penonton. Lagipula ga semua penonton bisa langsung "get the point". Lantas inilah yang ingin saya lakukan di blog ini. Di luar review, rekomendasi film dan penjelasan, saya kepengen bikin semacam feature article / essay yang khusus membahas makna sebuah film. Sebagai penulis amatir tentu saya harus memacu diri saya untuk menulis hal baru, dan apalagi saya punya ketertarikan khusus pada filsafat hidup. Selain itu blog ini kayaknya juga butuh refreshment supaya bisa saingan sama blog-blog tetangga (atau bahkan youtuber reviewer film yang kayak lebih laku dari blog) dan harapannya tulisan saya semacam ini bisa membekas di hati dan membantu memberikan perspektif baru. Yaaah... mudah-mudahan ya.

Rubrik baru ini akan saya namakan Belajar Hidup dari Film. Sementara, ini dulu namanya. Saya belum kepikiran nama lain yang lebih asyik (can you guys help me find a better name?). 

Sudah ada beberapa film yang sekiranya masuk daftar untuk dibuatkan esai khusus dan dimasukkan ke rubrik ini: Arrival (Dennis Villeneuve, 2016), American Beauty (Sam Mendes, 1999), Inside Llewyn Davis (Coen Brothers, 2013), Paterson (Jim Jarmusch, 2016), dan The Invitation (Karyn Kusama, 2015). Semuanya film-film yang meninggalkan kesan khusus buat saya dan menambah perspektif saya soal hidup.

Mau tahu rubrik ini kira-kira akan seperti apa? Bisa baca tulisan saya sebelumnya: Manic Pixie Dream Girl dan Hidupmu yang Miserable.

Anyway, NikenBicaraFilm sudah ada instagramnya (instagram : nikenbicarafilm) lho. Monggo difollow dan kita bisa ngobrol lebih seru di sana. Segala dukungan dari pembaca dan sesama penikmat film adalah salah satu alasan sampai sekarang saya menulis blog ini.

Salam.

Komentar

  1. yoyow... semangat Niken!!! Tetep Nulis ya... btw, Blogmu sllu aku tengokin ko, selalu menyenangkan bacanya. daaan selain kita sama2 Fassbender Maniac. LOL

    BalasHapus
  2. Ditunggu artikel-artikel menariknya di rubrik baru ini!!

    BalasHapus
  3. Kak niken ngga sekalian share akun twiter nya?

    BalasHapus
  4. rubrik pembahasan yang menarik sekali mba Niken.

    First of All (about me & film): saya mulai 'sering' nonton, terjadi sekitar 6 tahun lalu, saat itu masih beranggapan film hanya sebatas 'hiburan', medium pelepas penat, tidak lebih. Tahun demi Tahun saya lalui dengan tetap berpegang pada mindset itu, dan untungnya hal itu hanya berlangsung selama (kurang lebih) satu tahun. Saya disadarkan oleh film yang sebelumnya saya-tidak-sangka sangka, bukan film seperti The Godfather, Shawshansk Redemption apalagi 12 Angry Men melainkan oleh film indie berjudul The Man from Earth bahwa film bukan hanya sebuah 'medium' hiburan tapi lebih dari itu. Dimulai dari sini, saya mulai sedikit-demi-sedikit meninggalkan mindset tersebut. Tidak berselang lama, lagi lagi saya menemukan film yang sebelumnya, juga tidak-saya-sangka sangka mengubah saya (hampir sepenuhnya), bahwa film merupakan sebuah medium yang mampu memberikan kita (penonton), sebuah hal yang personal, bukan hanya sebatas pelajaran hidup melainkan juga"new/different-perspective". Puncaknya terjadi di tahun 2014 (atau awal 2015), melalui Boyhood (yang saya anggap sebagai film terbesar di abad ini), bahwa film mampu melewati, mendobrak sebuah batasan, medium antara penonton-film yang sedang ditonton. Pengalaman saya menonton Boyhood saat itu, bukan hanya cinematic-experience paling berkesan pun sangat personal (bahkan hingga saat ini) sekaligus mengubah smindset saya sepenuhnya (secara utuh) tentang esensi sebenarnya dari film, sebuah sinema.

    jika di izinkan, saya ingin mengutip kutipan (quotes) dari salah satu sutradara yang berpengaruh buat saya;
    "Film as dream. film as music. No art passes our conscience in the way film does, and goes directly to our feelings, deep down into the dark rooms of souls".

    *Maaf kalo kepanjangan mba niken. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo!

      Itu quote-nya Ingmar Bergman yaa... (*aku belum nonton filmnya sama sekali haha).

      Boyhood itu film menarik yaa, tapi entah kenapa aku dulu pas nonton ga bisa "dapet" pesannya. Mungkin aku nontonnya yang kurang bener, dan harus nonton lagi.

      Anyway, thank you sudah memberikan perspektifmu ke blog ini ya. Kalau ada film-film lainnya yang oke buat dibahas di rubrik ini bisa kasih tau aku :D

      Hapus
    2. Yes, one of my favorites quotes from Ingmar Bergman.

      Saya percaya, pengalaman penonton dengan penonton lain tidaklah selalu sama, mungkin itu yang terjadi sama mba Niken, saat menonton Boyhood. Tapi, kalo emang punya keinginan buat re-watch Boyhood, (dan kalo bisa juga tolong di review full. haha), saya akan sangat mendukungnya.

      mungkin bisa dimulai dengan film-film (maaf, jika mayoritas film yang saya rekomendasikan merupakan kategori film jadul) dari Akira Kurosawa (Ikiru, Rashomon, Ran), Ingmar Bergman ( Wild Strawberries, The Sevent Seal, Persona), Yasujiro Ozu (Tokyo Story, Late Spring) dan Andrei Tarkovsky ( Stalker, The Mirror).

      Hapus
    3. Oke thank you untuk saran-saran filmnya! Aku masih agak nyerah kalo film2 lama haha

      Hapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!