Alps (Greek, 2011) (3,5/5)



RottenTomatoes: 76% | IMDb: 6,3/10 | Metascore: 69/100 | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Genre: Drama, Arthouse

Directed by Yorgos Lanthimos ; Produced by Athina Rachel Tsangari, Yorgos Lanthimos ; Written by Yorgos Lanthimos, Efthymis Filippou ; Starring Aggeliki Papoulia, Ariane Labed ; Cinematography Christos Voudouris ; Edited by Yorgos Mavropsaridis ; Production company Haos Film ; Release dates 3 September 2011 (Venice Film Festival) ; Running time 93 minutes ; Country Greece ; Language Greek

Story / Cerita / Sinopsis :
Sekelompok orang, menamakan diri mereka "The Alps" membentuk sebuah usaha menyediakan jasa menjadi orang - orang yang telah meninggal bagi mereka yang ditinggalkan.

Review / Resensi :
Errr... this is the movie that I really couldn't understand. Seriously. Dan buruknya, internet juga tidak menyediakan artikel-artikel yang bisa menjelaskan dengan baik apa yang dimaksud Yorgos Lanthimos, sang sutradara, tentang film ini sendiri. Satu artikel yang saya temukan hanya menjelaskan bahwa sang sutradara tidak membatasi interpretasi apa yang ingin diambil dari penonton melalui filmnya, dan saya benar-benar tidak punya interpretasi memuaskan.

Nama Yorgos Lanthimos naik daun setelah filmnya yang termasuk katagori disturbing, Dogtooth (2009) masuk ke bursa Oscar pada katagori Best Foreign Film. Saya sudah pernah mereviewnya lengkap di blog ini (baca disini), dan Dogtooth sendiri memiliki premis yang sangat menarik. Tentang sebuah keluarga disfungsional, dimana sang ayah dan ibu mengisolasi ketiga anaknya dalam sebuah rumah. Dogtooth adalah film yang sinting (termasuk di dalamnya adegan incest), dan bahkan walaupun Lanthimos memasukkan unsur black comedy, saya tetap merasa filmnya terlalu gila untuk dimaklumi. Tahun ini Yorgos Lanthimos merilis film The Lobster, dengan premis yang juga sangat menarik dan trailer yang sangat indah sekaligus quirky, menceritakan seorang jomblo yang harus menemukan pasangan dalam waktu tertentu kalau nggak mau diubah jadi hewan. Jadi, sebelum saya menonton The Lobster (yang dibintangi oleh Colin Ferrel), saya tertarik untuk nonton second feature film sang sutradara yang dirilis tahun 2011 ini, Alps.

Sebagaimana Dogtooth dan The Lobster, Alps juga memiliki premis yang luar biasa menarik. Sebuah pelayanan bagi keluarga yang ditinggalkan, dengan cara meniru mereka yang telah meninggal. Biro jasa ini terdiri dari empat orang (yang namanya tidak disebutkan), yaitu seorang perawat (diperankan oleh Aggeliki Papoulia yang juga main sebagai anak perempuan pertama di Dogtooth), seorang paramedis, seorang pemain senam dan pelatihnya. Film kemudian lebih fokus kepada cerita sang perawat, yang secara diam-diam tanpa sepengetahuan rekan kerjanya mengambil 'job' menjadi anak perempuan pemain tenis yang sudah meninggal. Sub-plot lain di bagian awal dan bagian akhir juga menyorot anggota lainnya yakni sang pesenam, yang ingin memainkan senam ritmik dengan lagu pop, tapi dilarang keras oleh sang pelatih. Entah apa korelasi antara subplot ini dengan cerita lainnya secara keseluruhan. That's the point that I really couldn't understand. 

Dengan premis yang sangat menarik, saya justru merasa Alps sangat membosankan. Dogtooth is boring too, but I have a more tolerance on that (mungkin karena Dogtooth ceritanya lebih gila?). And Alps is errr...... so weird. Para pemerannya bermain dengan sangat datar dan robotik. Even when they acted as deceased people, mereka berakting dengan sangat buruk dan tidak meyakinkan. Jelas, kesan datar bak robot bukanlah karena aktor dan aktrisnya nggak bisa akting, tapi memang tampaknya ini ada dalam visi sang sutradara, yang saya nggak paham apa maksudnya. Sebagai gambaran utuh, Dogtooth jauh lebih mudah dipahami - entah para penonton memahaminya sebagai sebuah keluarga yang kelewat overprotektif, atau penonton melihatnya sebagai bentuk politik penguasa yang otoriter dan membodohkan - Dogtooth lebih konsisten dalam menggali ceritanya. Sedangkan Alps? Emhhh... jujur saya bingung.

Kesan yang saya dapatkan dari Alps justru sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan untuk saya tonton. Bercerita tentang jasa aneh menjadi orang yang sudah meninggal bagi keluarga yang ditinggalkan, saya berpikir cerita akan mengeksplor para anggota keluarga dalam menyikapi kematian dan mengatasi rasa dukanya. Namun, justru Alps mengambil pendekatan yang sebaliknya - lebih menyorot kepada sang 'peniru', atau dalam cerita ini tokoh utamanya adalah sang perawat. Sang perawat merasa menemukan kehidupan yang jauh lebih menyenangkan saat 'bekerja', dibandingkan kehidupan aslinya. She was stucked with her real life, and then find an escape. Mungkin memang isu inilah yang ingin diangkat oleh sang sutradara, bukannya tentang arti duka dan kematian dari mereka yang ditinggalkan. Berdasarkan hal ini, saya merasa bahwa Alps lebih lemah dibandingkan apa yang sudah diberikan Yorgos Lanthimos lewat Dogtooth. 

Saya bukan fans arthouse movie, karena..... ya harus diakui film-film semacam ini membosankan dan bikin pusing. Jelas Alps masuk ke dalam katagori ini, tapi bukan berarti Alps tidak menawarkan keindahannya sendiri. Sebagaimana Dogtooth yang secara visual sinematik menawan dalam tone vintage kekuning-kuningan, Alps juga dibungkus dengan balutan visual yang cantik dalam tone kebiru-biruan yang indah. Tapi sekali lagi, film ini...... membosankan (dan membingungkan).

Overview :
Alps sudah sangat menjanjikan dengan premis yang menarik perhatian, namun rupanya Yorgos Lanthimos memberikan fokus cerita yang tidak sesuai dengan harapan penonton (atau seenggaknya berbeda dengan yang saya harapkan). Dibandingkan film sebelumnya, Dogtooth, Alps lebih lemah dalam menyampaikan gagasan yang diberikan. Alps adalah film yang sangat segmented, dan jatuhnya agak membosankan. But it is still stunning in visual. 

Komentar