Spring (2015) (4/5)



"I'd still like to grab coffee or something, sometime. Because I think you're the most attractive person I've ever seen. But that doesn't outweigh that you might be a mental patient and I gotta make sure that you're the kind of crazy I can deal with,"

RottenTomatoes: 88% | IMDb: 6,6/10 | Metacritic: 69/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated : R
Genre: Horror, Romance


Directed by Justin Benson, Aaron Moorhead ; Produced by Justin Benson, Aaron Moorhead, David Clarke Lawson, Jr. ;Written by Justin Benson ; Starring Lou Taylor Pucci, Nadia Hilker ; Music by Jimmy LaValle, Sigur Rós ; Cinematography Aaron Moorhead ; Edited by Justin Benson, Aaron Moorhead, Michael Felker ; Production company XYZ Films ; Distributed by Drafthouse Films, FilmBuff ; Release dates 5 September 2014 (TIFF) ; Running time 109 minutes ; Country United States ; Language English, Italian ; Box office $46,226


Story / Cerita / Sinopsis :
Setelah kematian sang ibu dan dipecat dari pekerjaannya, Evan (Lou Taylor Pucci) memutuskan untuk pergi ke Italia. Di sana ia jatuh cinta dengan Louise (Nadia Hilker), tanpa menyadari siapa Louise sebenarnya.

Review / Resensi :
Spring diawali dari sebuah adegan dramatis yang menyedihkan, ketika Evan (Lou Taylor Pucci) harus kehilangan ibunya yang sakit keras. Lalu tensi sedikit meningkat hanya dalam waktu 5 menit kemudian, melalui sebuah adegan perkelahian yang berujung pada dipecatnya Evan dari pekerjaannya. Tanpa sebuah perencanaan yang matang, Evan kemudian memutuskan untuk pergi ke Italia. Yap, sampai disini kamu akan mengira Spring adalah sebuah road-trip movie, dimana sang tokoh utama akan menemukan jati dirinya melalui sebuah perjalanan ke negeri eksotis (dimana banyak-banyak cowok ganteng). Ketika kemudian Evan bertemu dengan Louise yang manis dan asyik, lalu perlahan chemistry di antara keduanya mulai terbentuk - kamu kemudian akan mengira bahwa Spring adalah sebuah film romance ala Linklater, dimana dialog-dialog keduanya akan mengingatkanmu pada trilogi Before-nya. Tapi sebuah kejutan memang sudah dipersiapkan di pertengahan filmnya, ketika elemen horor memberikan sentuhan yang tidak disangka - terutama bagi yang belum tahu bahwa Spring film horror. Tapi kalau kamu sudah menonton trailernya, kamu sudah tahu bahwa kamu akan menyaksikan film horror.

Mengkatagorikan Spring sebagai sebuah film horror sebenarnya tidak terlalu tepat. Elemen horror, atau lebih tepatnya body-horror, memang menjadi unsur yang tidak bisa diabaikan, namun kalau boleh dikatakan Spring sebenarnya merupakan sebuah film yang lebih dominan ke arah romantis. Perpaduan kedua genre tersebut (horror dan romance - could we call it homance?), yang boleh dikatakan sangat bertolak belakang, adalah perpaduan yang unik dan otentik. Namun, tentu saja ini agak menjadi pedang bermata dua bagi yang tidak menyukai salah satunya. Misalnya bagi yang lebih menyukai film horror akan merasa unsur romance nya terasa membosankan, dan bagi yang lebih menyukai romance akan merasa unsur horrornya terasa konyol. 

Sebagai sebuah film romance, kekuatan utama Spring jelas ada pada chemistry antara Evan dan Lousie yang terbangun dengan baik, berkat penampilan cukup alami antara Lou Taylor Pucci dan Nadia Hikler. Kedua tokoh sentral boleh dikatakan memiliki sifat yang sedikit bertolak belakang. Evan yang sedikit tegang dan naif, dengan Louise yang kepribadiannya lebih terbuka dan asyik - kinda a cool girl that every boy would falling in love. Proses yang terjadi di antara keduanya, dimulai dari perkenalan yang sedikit lancang dan canggung, kemudian berubah menjadi cair dengan sangat mudahnya - sambil kita diajak untuk untuk tur menikmati Italia. Melalui sebuah wine, museum yang menarik, kafe dengan pemandangan laut lepas, jalanan dan rumah berbatu, serta lautnya yang indah, dan diiringi oleh kamera yang bergerak dengan halus serta soundtrack musik yang lembut - sulit untuk menyangkal bahwa Spring adalah sebuah film romantis yang indah. Justin Benson yang menulis naskahnya juga tidak lupa untuk menyisipkan sedikit sentuhan komedinya yang menjadikan film Spring terasa lebih ringan.

Namun ketika kejutan itu datang - ketika sang femme fatale bertransformasi menjadi makhluk aneh yang menjijikkan, elemen horror itu akan tiba dengan begitu kuatnya. Terutama dengan spesial efek yang cukup oke yang mungkin bisa membuat kamu mengernyitkan dahi. Justin Benson dan Aaron Morhead juga dengan cukup baik membangun efek ketegangan, melalui gambar-gambar yang menampilkan hewan-hewan seperti ulat dan cacing, yang menjadi semacam clue bagi penonton bahwa Spring tidak akan berjalan sedatar yang kamu kira. Tak lupa juga dengan kejutan-kejutan khas horrornya yang cukup mengagetkan karena diberikan pada waktu yang tepat. Akan tetapi pada akhirnya saya lebih cenderung mengatakan bahwa Spring lebih tepat untuk dikatakan sebuah film romance dan pencarian cinta sejati, terutama jika kamu melihat konklusi di akhirnya. Saya pribadi sendiri sih lebih menyukai adegan horrornya dibandingkan adegan romantisnya, karena harus saya akui bahwa saya agak bosan dengan percakapan-percakapan antara Evan dan Louise. And the only reason why I keep going on is the horror disturbing scene (is it something wrong with me that I prefer a horror scene than a romance scene?). 

Overview:
Sebuah perpaduan genre yang unik, ketika Justin Benson dan Aaron Morhead mencoba memadukan elemen romance dan horror. Spring didominasi dengan elemen romance yang bergerak begitu natural dan manis, terutama melalui dialog dan chemistry yang dibangun antara Evan dan Louise yang diperankan dengan cukup baik oleh Lou Taylor Pucci dan Nadia Hikler. Menonton Spring juga akan membuatmu ingin pergi berbulan madu dengan pasangan ke Italia. Sajian horronya kemudian akan sedikit mengejutkan dan dihadirkan dengan cukup efektif. Pada akhirnya, Spring adalah sebuah film yang layak kamu tonton, namun apakah ini adalah film favorit saya? I don't think so. Jika film ini lebih bergerak ke ranah horror, mungkin saya akan lebih bahagia. 

Komentar