Blade Runner (1982)


"Quite an experience to live in fear, isn't it? That's what it is to be a slave," - Roy Batty

RottenTomatoes: 91% | IMDb: 8,2/10 | Metacritic: 88/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre: Science-Fiction, Drama

Directed by Ridley Scott ; Produced by Michael Deeley ; Screenplay by Hampton Fancher, David Peoples ; Based on Do Androids Dream of Electric Sheep? by Philip K. Dick ; Starring Harrison Ford, Rutger Hauer, Sean Young, Edward James Olmos ; Music by Vangelis ; Cinematography Jordan Cronenweth ; Edited by Terry Rawlings, Marsha Nakashima ; Production company The Ladd Company ; Distributed by Warner Bros. ; Release dates June 25, 1982 ; Running time 116 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $28 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bersetting tahun 2019, Tyrell Corporation menciptakan manusia-android yang disebut Replicant, dengan kemampuan dan bentuk fisik yang serupa dengan manusia. Replicant digunakan untuk pekerjaan - pekerjaan berat di off-world colonies, dan Replicant dilarang keras masuk ke bumi. Replicant yang nekad masuk ke Bumi akan di-"pensiunkan" (retired) oleh Blade Runner. Pada November 2019, empat Replicant berhasil masuk ke bumi - dan salah satu Blade Runner, Deckard (Harrison Ford) ditugaskan untuk membunuh para Replicant tersebut.  

Review / Resensi :
My first impression after watch this movie: boooooooring. I can't blame myself, because I bet most people feel the same way. Setidaknya itu pula yang mungkin dirasakan banyak orang kala Blade Runner dirilis untuk pertama kalinya di teater-teater Amerika tahun 1982, dan rupanya tidak mendapatkan sambutan yang hangat. Kalah telak dengan drama science-fiction E.T milik Steven Spielberg yang merajai box office saat itu. People says it gets misunderstood when the first time this movie hits theaters. Mengapresiasi Blade Runner juga jauh lebih susah ketika menontonnya baru 32 tahun kemudian, dimana kita sudah terbiasa dengan efek-efek yang dipertontonkan film-film saat ini yang sudah begitu canggih. Namun, harus diakui bahwa Blade Runner adalah salah satu pioner di genre science-fiction, terutama di subgenre cyberpunk dengan dunia distopianya yang kelam dan kacau. Seiring dengan berjalannya waktu, pada akhirnya Blade Runner kini telah menyandang status cult, dan diakui salah satu film terbaik di genre science-fiction - dan tampaknya juga menobatkan Ridley Scott sebagai salah satu sutradara science-fiction terbaik yang ada di dunia. 

Menonton film-film lama memang membutuhkan kemampuan kita untuk melepas kacamata "kekinian" kita. Relevansi Blade Runner saat ini memang sudah terasa tidak terlalu relevan, terutama ramalan Ridley Scott akan mobil-mobil terbang, manusia android, dan koloni luar angkasa terjadi di tahun 2019, dimana itu empat tahun lagi dan dunia masih jauh dari prediksi itu. Akan tetapi jika kita berpikir seperti orang-orang di tahun 80-an, dimana komputer pribadi saja bahkan belum ada, maka Blade Runner menawarkan sesuatu yang sangat visioner pada masanya. Ridley Scott menawarkan pertunjukan-pertunjukan teknologi futuristik yang begitu menarik, terutama bagaimana doi berhasil menciptakan the future earth melalui penggambaran kota metropolitan dengan dominasi lampu neon berwarna biru. Los Angeles disulap menjadi kota besar dimana penduduknya terdiri dari banyak ras, dan menjadi semacam kota Tokyo di malam hari. Namun Blade Runner bukanlah film science-fiction yang ceria, ini adalah dystopia dengan atmosfer yang depresif, kelam dan muram. Blade Runner jelas sangat unggul pada masa itu dari segi teknik dan visual.

Selain itu, yang patut digali lebih dalam adalah tema besar yang ditawarkan oleh Blade Runner. Ada makna yang sangat filosofis dari cerita yang berpusat pada Replicant dan Human. Salah satu yang menarik adalah gagasan penciptaan Replicant, dimana android Nexus 6 telah memiliki aspek lain yang membuatnya menjadi begitu manusia: emosi. Replicant tidak lagi berupa sekedar robot biasa, namun telah menjadi android dengan "jiwa". Maka manusiawikah untuk memusnahkan para Replicant? Isu inilah yang sangat menarik, dimana kita dibuat mempertanyakan apakah yang membuat manusia adalah manusia? Membedakan manusia dengan "makhluk" lainnya? Sebuah isu yang kemudian turut menginspirasi film-film lain seperti A.I. (Spielberg, 2001), Her (Spike Jonze, 2013) hingga film yang saya tunggu-tunggu tahun ini Ex-Machina (dibintangi Oscar Isaac dan disutradarai Alex Garland). 

Makna filosofis lain yang saya dapatkan juga adalah bagaimana kemudian Roy, salah satu Replicant yang mencoba memberontak, bertemu dengan Tyrell, sang penciptanya. Ini adalah tema lain yang terasa sedikit religius, dimana kemudian orang-orang mempersepsikan Roy dan Replicant lainnya sebagai malaikat, dan Tyrell adalah Tuhan. Roy diceritakan mempertanyakan kenapa ia tidak bisa hidup lebih lama, sebagaimana pertanyaan yang mungkin akan kita ajukan jika kita bertemu Pencipta kita? Isu ini juga tampaknya saya jumpai di film Ridley Scott yang lain, Prometheus (2012) dimana robot android ganteng David (Michael Fassbender) mempertanyakan eksistensinya. 

Sebagaimana yang saya katakan di awal, terlepas dari segi visual yang begitu megah dan tema filosofis yang melingkupi Blade Runner, harus saya akui bahwa saya merasa film ini membosankan. Sulit sekali buat saya untuk tidak dibuat tertidur. Sebagian karena saya mengira saya akan menyaksikan sebuah film action, namun sebaliknya Blade Runner lebih ke arah neo-noir dengan alur yang terbilang lamban. Saya sudah nyaris tertidur sebelum akhirnya Harrison Ford mengeluarkan pistol di pertengahan film. Tidak hanya terasa lambat dan bertele-tele, salah satu kelemahan lainnya adalah saya merasa penceritaannya tidak terlalu lancar. Seperti ada elemen-elemen yang terpotong dari scene ke scene lainnya. Terlebih lagi karena saya merasa Blade Runner gagal dalam menyampaikan gagasannya dengan lebih mendalam. Saya seperti tidak merasa terikat, ditambah lagi karakterisasi tokoh Deckard (Harrison Ford) yang terasa soul-less (or maybe because he is not a real human - he is just another Replicant? that's a big question!). 

And also, the music. Musiknya terdengar retro dan futuristik secara bersamaan, sebagaimana tipikal musik tahun 80-an yang didominasi musik elektronik. Bagian opening dan ending memang sangat keren, namun pertengahan film musiknya terdengar sangat... ehmmm... basi. Semakin basi ketika ada elemen-elemen klise lain di bagian pertengahan film (jatuh cinta dalam sekejap kepada salah satu Replicant - this is not spoiler: semua orang dijamin akan langsung bisa mengira ini yang akan terjadi). Hmmm... booring!


Overview :
Sebuah pertunjukan visual yang megah dan luar biasa dari Ridley Scott dalam mewujudkan dunia dystopia di masa depan. Ada aura yang terasa dingin, misterius, kelam sekaligus human-less dalam sebuah film yang bertema sedikit filosofis mengenai hakikat manusia. Namun visual yang indah dan special effect canggih tidak bisa menutupi bahwa Blade Runner cukup lemah dari segi penceritaan. Alur yang lamban dan ketidakmampuan mengikat emosi penonton adalah faktor fatal yang kemudian membuat film ini terasa sedikit membosankan.

Random Note: 
Jika kamu ingin nonton, saya sarankan kamu mencari versi The Final Cut yang dirilis tahun 2007. Tanpa voice-over dan happy ending, serta sebuah mimpi siang yang melibatkan unicorn yang nantinya akan berkaitan dengan ambiguitas ending-nya, The Final Cut adalah versi terbaik dari Blade Runner yang cukup tepat untuk kemudian menjadikan Blade Runner berstatus cult. Sebaiknya juga kamu menontonnya segera, karena kabarnya Ridley Scott akan merilis Blade Runner 2 beberapa tahun lagi!


Untuk review terbaru Blade Runner 2049 monggo click di sini.

Komentar

  1. Gue malah suka nieh film..hehe

    BalasHapus
  2. Saya juga pertama Kali nonton Blade runner ketiduran, tapi setelah nonton ketiga kalinya baru bisa apresiasi. Filmnya multilayered Dan ambigu jadi setiap viewer punya persepsi yang beda beda juga.. untuk adegan love scene antara deckard Dan Rachel menurut Saya itu bukan cinta sekejap tapi sebenarnya Deckard maksain Rachel untuk making love, Rachel yang nggak bisa percaya sama emosinya sendiri karena tau dia cuma replicant akhirnya cuma bisa pasrah, jadi sebenarnya itu rape scene bukan love scene :) Dan masih banyak backstory lain yang open for interpretation misal apakah Deckard replicant atau siapa sebenarnya the evil guy, Deckard atau replicant.. soundtrack dari vangelis juga pas untuk mood filmnya yang gelap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you for your perspective!
      Iya, setelah nonton ulang Blade Runner kayaknya emang itu semi rape scene ya, secara Deckard kayak "maksa" si Rachel... Tapi "rape scene"-nya emang elemen penting dalam kaitan Rachel sebagai replicant...

      Hapus
  3. Hari ini 5-10-17 baca koran dan seperti biasa buka dulu halaman film2 yg lagi dan akan diputar dibioskop2 kota Malang.
    Terbaca ada film baru “Blade Runner 2049”, besok Premiere. Langkah pertama kalau baru dengar filmnya biasanya langsung buka Youtube utk lihat trailernya… ternyata ber-genre Fiksi Ilmiah yg tentu saja jenis film kesukaanku sejak jaman cilik/SD dan ternyata juga dibintangi aktor favorit dimasa lalu yg tentunya dimasa sekarang seperti halnya aq (he.. he..) sudah terlihat tua, Harrison Ford.
    Samar2 saat lihat trailernya dalam ingatan kok pernah dengar dan lihat film ini dimasa lalu dgn aktor yg sama, coba searching lagi akhirnya benar ketemu juga Blade Runner (1982). Pastinya saat nonton versi pertama ini gak di gedung bioskop tapi di video Betamax / VHS. (saat itu masih tinggal di kota kecil Asembagus – Situbondo. Gedung bioskop satu2nya disana 75% berimbang hanya memutar film2 Indonesia & India, 15% Hongkong baru sisanya film Barat).
    Karena penasaran kalau di cerita filmnya yg sekarang (2017) ada hubungannya dengan Blade Runner masa lalu (1982) akhirnya coba cari di Google Sinopsisnya… ternyata akhirnya ketemu juga di Blog ini…
    Trims untuk mb. Niken yg akhirnya bisa mengingatkan saya inti cerita film 1982 agar nanti kalau pas lihat film yg terbaru bisa ngira2 hubungannya dgn film pertama…

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama :)
      Saya ga tahu apa film ini main di bioskop. Secara film ini tahun 82 hahaha... dan jaman tayang di sana aja ga laku :D

      Hapus
  4. Pertama kali menonton filn ini memang boring, tapi kedua kalinya saya jadi menikmatinya. Status cult classic pada film ini jelas karena ke boringan nya itu, tidak berisik, santai, bikin mikir, sehingga ke keren annya itu ada di pikiran setiap penonton nya, bukan buatan sutradaranya. Karena film yang "bagus" dan berkualitas itu seperti itu, ketika kita bisa berpikir, berimajinasi sendiri tanpa visual action di film nya. Dan cult classic juga diperoleh dari cantik dan rapuhnya rachael, kerennya pris dan make up di matanya, teatrikalnya roy batty, pokoknya setiap karakternya itu loh. Ikonik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!