The Raid 2 : Berandal


Saya cukup ngerasa bangga sama diri saya sendiri ketika setelah sempat vakum dan ngisi blog “aras-arasen” tahun lalu, dengan penuh keajaiban pada awal 2014 saya mulai menulis blog lagi hingga total ada 4 review yang bisa saya tulis per bulan (empat itu udah luar biasa lho kalo buat saya). But then, sampai memasuki Maret mood menulis perlahan pudar, dan bisa dilihat di kolom samping kanan kalo bulan Maret saya nggak nulis apa-apa. Baru pertengahan bulan April saya akhirnya nulis ini, itupun ngereview The Raid 2 : Berandal, which is udah basi sebenarnya. Ini bukan nulis reviewnya yang telat, tapi nontonnya saya yang udah telat banget – dimana di Surabaya pun bioskop yang nayangin tinggal beberapa doank. Tapi ya sudahlah, biarpun momennya uda ga pas, rasanya saya merasa berhutang kalau tidak meluangkan waktu untuk menulis review The Raid 2 : Berandal. I should show some respect for this movie........ 


IMDb: 8.9/10
Metacritic: 71%
Rotten Tomatoes: 80%
NikenBicaraFilm: 4.5/5

Genre: Action
Rated: R

Directed by Gareth Evans ; Produced by Ario Sagantoro, Nate Bolotin, Aram Tertzakian ; Written by Gareth Evans ; Starring Iko Uwais, Arifin Putra, Oka Antara, Tio Pakusadewo, Alex Abbad ; Music by Fajar Yuskemal, Aria Prayogi, Joseph Trapanese ; Cinematography Matt Flannery, Dimas Imam Subhono ; Editing by Gareth Evans, Andi Novianto ; Studio PT. Merantau Films, XYZ Films ; Distributed by Sony Pictures Classics, Stage 6 Films (US), Entertainment One (UK) ; Release dates 21 January 2014 (Sundance),  11 April 2014 (United Kingdom) ; Running time 150 minutes ; Country Indonesia ; Language Indonesian, Japanese, English ; Budget $4.5 million 

Story / Cerita / Sinopsis :
Melanjutkan dari film sebelumnya, The Raid 2 : Berandal masih mengisahkan Rama (Iko Uwais) yang setelah misi penyerbuannya di seri sebelumnya kemudian diminta oleh Bunawar (Cok Simbara) untuk masuk ke dunia mafia dan kriminal yang dipimpin Bangun (Tio Pakusadewo) dengan cara mendekati anaknya Uco (Arifin Putra).

Review / Resensi :
Setelah menonton The Raid, dan lalu tahu Gareth Evans membuat sekuelnya, saya wajar bertanya-tanya: bisa apa lagi nih Gareth Evans? Gareth Evans tahu betul ini. Pertanyaan saya pasti ditanyain juga oleh sebagian publik yang dibikin melongo kala menonton The Raid. The Raid adalah sebuah kesuksesan masif untuk sebuah film Indonesia, tidak hanya mengguncang dunia film Indonesia yang sebelumnya begitu-begitu saja, namun di kancah internasional The Raid menjadi salah satu film yang layak diperhitungkan (hell yeah, di Rotten Tomatoes kedua The Raid memperoleh skor fresh di atas 80%!! Film Indonesia yang bisa masuk web ini aja uda merupakan prestasi, apalagi yang bisa memperoleh skor demikian baik). Sekuel sebuah film yang demikian sukses hanya ada 2 tipe: yang sukses dan yang ancur. Ada beban demikian besar untuk bisa membuat film yang bisa lebih baik dari film sebelumnya, namun rupanya boleh dibilang : Gareth Evans nailed it. 

Boleh dikatakan bahwa Gareth Evans step up his game. The Raid 2 adalah pertunjukan yang jauh lebih glamor jika dibandingkan dengan film sebelumnya. Kalau ada yang ngomel-ngomel The Raid isinya cuma bunuh-bunuhan, maka di The Raid 2 ini Gareth Evans menampilkan cerita dan konflik yang lebih mbulet alias lebih kompleks. Alur yang lebih kompleks sedikit membingungkan memang, apalagi buat saya yang kebiasaan baca subtitle jadi ga terlalu nyimak percakapan yang ada, namun The Raid 2 sendiri masih cukup mudah untuk diikuti – tanpa menjadikan film ini terasa melompong. Ada lebih banyak tokoh di film ini, dengan background karakter yang lebih terbangun. Banyaknya tokoh ini memang menimbulkan beberapa sub-plot yang ga penting dan menjadi salah satu kelemahan The Raid 2.

Bicara mengenai tokoh antagonis, villain sebelumnya, Tama (Ray Sahetapy) digantikan oleh sosok Uco (Arifin Putra) yang luar biasa ganteng . Sosok Tama memang terasa lebih creepy dan salah satu nyawa ketegangan yang ada di film The Raid, namun Arifin Putra sendiri mampu membawa karakter Uco dengan begitu brengseknya – terutama karena karakternya tidak 1 dimensi. Saya melihat sedikit kegagapan pada akting Arifin Putra pada bagian awalnya, namun lama kelamaan aktingnya makin brengsek (baca: makin baik) sebagai seorang pengkhianat dan psycho. Villain berikutnya adalah Bangun (Tio Pakusadewo) yang menampilkan aura jahat yang berbeda dibandingkan Ray Sahetapy, dengan aura yang lebih dingin, tenang, dan terlihat normal – tapi sebenarnya lebih bajingan. 

Buat kamu yang kepengen memaki-maki Yayan Ruhian lagi, yang sebelumnya main sebagai Mad Dog, kamu bisa mengobati kerinduanmu karena Yayan Ruhian bangkit lagi sebagai karakter berbeda – yang muka dan rambutnya jauh lebih berantakan daripada sebelumnya. Sedangkan sebagai pengganti karakter Mad-dog, Gareth Evans sudah menyiapkan gag nanggung-nanggung tiga karakter sekaligus - dengan lethal weapon-nya masing-masing, yang merupakan anak buah Bejo (Alex Abbad): The Assassin (Cecep Arif Rahman), Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman), dan Hammer Girl (Julie Estelle). Ketiga karakter ini jelas lebih cadas dalam menghajar figuran-figuran tak bersalah (terutama Baseball Bat Man yang kacau banget, dan tampang cutenya di balik hoodie jelas menarik hormon estrogen saya :p). Para pria juga sontak bersorak ketika akhirnya Gareth Evans memasukkan suguhan segar: tokoh wanita seksi yang sayangnya sadokis, Hammer Girl. Julie Estelle rocks it. Sayang karakter para pembunuh ini tidak terlalu dieskpos lebih dalam, sehingga terkesan ga penting-penting banget. 

Satu hal yang paling mencolok jelas adalah bagaimana Gareth Evans dan timnya, terutama sang sinematografer Matt Flannery dan Dimas Imam Subhono, jauh lebih berkembang dalam mengolah sinematografinya serta membangun setting dan propertinya. Sinematografi The Raid 2 begitu cool, artistik, dengan sentuhan tone yang terlihat maskulin. Ada aura retro pada beberapa scene, dan beberapa adegan perkelahian mungkin mengingatkanmu pada gaya Tarantino. Memang, ambisiusnya Gareth Evans dalam mewujudkan sinematografi yang “terlampau cantik” menghasilkan faktual error yang terasa tidak logis ketika dengan pedenya Evans menghadirkan salju di tengah Jakarta hanya demi melihat darah di atas salju putih. Ketidaklogisan ini menjadi semacam “cacat” yang membuat orang jadi protes – padahal salju ini ga esensial sama sekali. Bukan hanya karena bagaimana bisa salju bisa turun di Jakarta, tapi kalaupun Jakarta bisa bersalju kenapa saljunya pas adegan itu doank. Bukan hanya kontroversi salju, namun kalau melihat dari kacamata “keaslian Indonesia”, ada beberapa adegan yang terasa sok-cool dan berlebihan (contohnya polisi-polisi di penjara) – dan ya emang toh sedari awal, konsep “mafia” juga rasa-rasanya terlalu Hollywood.. But in my opinion, we should see The Raid 2 as a full entertaining movie – dan jika kamu berhasil mengesampingkan hal-hal non krusial itu, you will pleased with so many awesomeness. 

Nah, sekarang kalau bicara soal pukul-pukulan, jelas Gareth Evans ga mau sekedar hajar-hajaran ala The Raid lagi – ditambahlah adegan yang jauh lebih bombastis dan sadis. Yang paling asyik tentu adegan mobil di jalan raya dengan setting kota Jakarta asli (-yeah, halte busway dibuat hancur berantakan), sehingga membuatmu berdecak kagum mengenai proses produksinya. Ini jelas langkah besar bagi dunia perfilman Indonesia. Kurang adegan bom-boman aja sih sebenarnya. Kalau kamu ingin melihat banyak darah, Gareth Evans tetap memanjakanmu dengan cipratan darah dan level sadis yang kacau dan ngilu – namun tetap dalam sentuhan sinematografi yang cool. Sayangnya, adegan perkelahian yang epik antara Mad-Dog dan Rama memang sudah tidak terulang (saya masih ingat jelas bagaimana satu bioskop bertepuk tangan setelah Mad Dog akhirnya tersungkur) – namun adegan epik antara Rama dengan The Assassin boleh dibilang cukup menghibur, apalagi dengan murni gaya pencak silat yang kental dan kerambit yang jadi senjara The Assassin. So damn cool. Walaupun ya boleh dibilang, seluruh adegan perkelahian ini membuatmu berpikir bahwa tokoh Rama is a really lucky guy – yang cuma terjadi pada tokoh utama di film action.  

Iko Uwais jelas mengalami pendewasaan akting, walaupun saya merasa bahwa karakternya entah kenapa tidak terlalu melekat di kepala. Saya tidak merasa diri saya terikat secara emosional pada karakternya, hal ini berbeda dengan film sebelumnya. Mungkin karena saya sibuk tertarik dengan karakter-karakter antagonis yang lebih menonjol. Saya pikir seharusnya bisa lebih banyak momen yang lebih bisa didramatisir, dan karakter Rama seperti karakter robot yang kurang ekspresif.

Overview:
Once again I should say that Gareth Evans really know how to step up the game. Setelah apa yang pernah dilakukannya di film pertama, Gareth Evans menaikkan kualitas segalanya , terutama dari segi cerita dan sinematografi. The Raid 2 adalah pertunjukan glamor film action yang bisa dengan mudah membuat saya jatuh cinta (padahal saya ga suka film action). Walaupun tetap saja begitu banyak elemen-elemen yang terlalu Hollywood, namun Evans masih mampu merangkai elemen-elemen ke-Indonesiaan dengan begitu baik. Tapi kalau pada akhirnya saya dipaksa milih, lebih bagus mana The Raid pertama atau kedua? Hmmmm... saya harus jawab yang lebih bagus adalah The Raid 1. Why? Sebenarnya karena masalah first experience aja. Namun sebagai sebuah sekuel, The Raid 2 tidak akan mengecewakanmu. Bagi kamu yang mengatakan bahwa The Raid 2 adalah film yang buruk, oh no, berharap saja saya tidak mendoakan Hammer Girl datang untuk memukulmu dengan palu. 

Komentar

  1. jadi penasaran,..sebenernya film favorit mbak niken selain The Raid apa ya??

    BalasHapus
  2. Suka banget film indo yg satu ini! terlepas dari cerita dan "berandal"nya, aku suka karena komposisi dalam film ini indah. pas. fit. sukaa <33

    BalasHapus

Posting Komentar

Your comment is always important to me. Share di sini!