Directed by Sunil
Soraya ; Produced by Sunil Soraua,
Ram Soraya ; Written by Sunil
Soraya, Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, Riheam Juniant; Starring Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian ; Running time 163 minutes ; Country Indonesia; Language Indonesia ;
Story / Cerita / Sinopsis :
Diangkat dari novel sastra tahun 1938 berjudul sama, Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck berkisah mengenai seorang yatim piatu Zainuddin (Herjunot Ali), yang
lahir dari ayah keturunan Minang dan Ibu keturunan Bugis yang merantau ke
kampung halaman ayahnya untuk kemudian hanya mengalami penolakan karena adat
Minang yang matrilineal. Kesedihan Zainuddin yang tidak diakui oleh sukunya
sendiri mendapat simpati dari Hayati (Pevita Pearce), yang pada akhirnya
jalinan cinta keduanya mengalami pertentangan. Masalahpun menjadi bertambah
ketika Hayati terpaksa menerima pinangan dari Aziz (Reza Rahadian), seorang
bangsawan keturunan Minang asli.
Review / Resensi:
Pertama-tama, ijinkan saya mengaku bahwa saya bukan fans
film Indonesia. Mungkin hal ini membuat kamu berpikir saya bukan nasionalis, namun memang saya sedikit picky dengan film negeri sendiri. Finansial
juga menjadi alasan logis mengapa saya tidak terlalu “mbelani” nonton film
Indonesia ke bioskop – toh hanya selang beberapa bulan kamu sudah bisa
menyaksikannya di layar televisi (gratis, tapi harus diakui iklan setiap beberapa
menit menjadi hal yang kerapkali membuatmu ingin melempar remote TV ke ke layar). Selama
ini tidak banyak film Indonesia yang berhasil membuat saya tertarik, sejauh ini
saya hanya suka The Raid (yang sebenarnya menjadi problem sendiri menilik sang
sutradara juga bukan orang asli Indonesia). Maka, ketika tidak sengaja saya
melihat cuplikan alias trailer Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck – dengan setting
ala The Great Gatsby yang begitu memukau, saya merasa yakin bahwa Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck adalah salah satu film Indonesia yang harus saya tonton di
bioskop. Lalu menontonlah saya. Dan cukup kecewalah saya. (Mungkin kamu bisa
bilang saya sok pintar karena tidak terlalu menyukai film yang cukup
disanjung-sanjung banyak orang ini, tapi whatever, saya hanya mencoba jujur).
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (atas dasar kemalasan,
selanjutnya saya singkat TKVDW) diangkat dari novel klasik karya Buya Hamka
tahun 1938. Karya ini sendiri sebenarnya menimbulkan polemik: beberapa ahli
sastra Indonesia menuduh TKVDW merupakan bentuk plagiasi karena banyaknya
kesamaan dengan karya seorang sastrawan Perancis. Terlepas dari itu, beberapa ahli sastra
Indonesia tetap mengakui bahwa TKVDW merupakan salah satu karya terbaik dari
Hamka dan salah satu karya klasik di dunia sastra Indonesia. TKVDW
tidak hanya berisi mengenai roman kisah percintaan dua orang manusia saja,
namun karya sastra ini sebenarnya sarat akan kritik sosial terhadap situasi adat
istiadat yang ada di Minangkabau.
Diangkat dari novel karya sastra lama, yang kisahnya tentu
saja sarat akan drama dan cenderung mendayu-dayu, TKVDW berpotensi akan banyaknya
adegan-adegan ala opera sabun yang bisa jadi membosankan. Rupanya, pendekatan
itulah yang tetap diambil oleh Sunil Soraya yang duduk sebagai kursi sutradara
sekaligus penulis naskah bersama dengan Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, dan Riheam Juniant . Adegan mendayu-dayu ini memang begitu
dominan, diperuntukkan untuk memancing air mata penonton – namun hal ini justru
menjadi boomerang karena banyaknya adegan yang tidak perlu, dengan
kalimat-kalimat cinta bertele-tele yang tampaknya disadur langsung dari
bukunya, intinya membuat saya bosan setengah mati. Saya pikir Sunil Soraya seharusnya mengambil pendekatan yang lebih relevan dan modern. Sunil Soraya tampaknya
begitu fokus menghidupkan hubungan antara Zainuddin dan Hayati dengan
percakapan cinta yang malu-malu (dan sebenarnya canggung), serta adegan jatuh
cinta – patah hati yang membosankan. Yes, adegan jatuh cinta pada pandangan
pertama ala Bella & Edward itu sangat menyebalkan. Terlalu fokusnya Sunil
Soraya pada adegan sedih ala film India juga justru membuat esensi kritik-sosial
yang sebenarnya menjadi salah satu tema yang diangkat dari novel asli TKVDW
menjadi tidak bernyawa. Terbuangnya Zainuddin dari sukunya tidak diberi porsi
lebih yang meyakinkan, sehingga bagian awal film ini seolah-olah berjalan begitu
terburu-buru.
Selain itu, entahlah, saya hanya merasa akting kedua pemeran
utama, Herjunot Ali dan Pevita Pearce begitu jauh dari yang saya harapkan. Kekuatan sebuah film roman tentu
saja dibangun dari akting para pemeran pria dan pemeran wanitanya, namun saya
merasa perform Herjunot Ali dan Pevita Pearce begitu dibuat-dibuat. Salah satu
penyebabnya mungkin karena karakter keduanya dibangun begitu minim. Terutama
peran Hayati yang tampaknya sepanjang film digambarkan begitu lemah, cengeng,
dan annoying – dan membuat Pevita Pearce hanya berakting nangis lagi nangis
lagi (oh, please!). Herjunot tampil lebih meyakinkan sebenarnya – apalagi pada
adegan menangisnya yang menunjukkan potensi yang dimilikinya, namun tetap saja
ada yang mengganjal dari aktingnya yang terasa kaku dan seperti bermain di
panggung teater. Karakter yang kurang hidup ini justru membuat saya malah tidak
bersimpati terhadap kisah tragis keduanya, dan ini sebenarnya kalau boleh
dibilang, kesalahan fatal.
Akting para pemeran pembantu lainnya sebenarnya juga tidak
lebih baik, terutama aktris pemeran Khadijah yang kualitas aktingnya masih
kualitas artis sinetron. Dialog ala bahasa Minang juga terasa canggung dan aneh
didengar (walau sebenarnya orang Padang yang saya kenal cuma pedagang-pedagang
di Tanah Abang). Akan tetapi, pada akhirnya oase segar datang dari Reza
Rahadian yang berperan sebagai Aziz, yang akting antagonisnya begitu luwes dan
meyakinkan, dan jelas menunjukkan kapabilitas aktingnya jauh di atas para aktor
lainnya (dan Ya Allah, Reza Rahadian ganteng sekalii di siniiii.. XD).
Diluar semua kritik yang sudah saya tulis panjang lebar di
atas, TKVDW tetaplah salah satu film Indonesia yang begitu indah dalam
mempresentasikan adegan demi adegannya. Sinematografinya begitu indah
(tampaknya TKVDW adalah film Indonesia dengan sinematografi paling baik yang
pernah saya tonton), dengan setting retro-vintage yang memukau –
yang tampaknya tidak menyia-nyiakan dana pembuatan film yang mencapai milyaran
rupiah. Banyaknya figuran dalam banyak adegan seperti adegan di pacuan kuda dan
pelabuhan tanjung perak (kabarnya ada 5 ribu figuran di film ini) – membuat
film ini tampak nyata. Begitu pula dengan mobil, lokasi dan kostum vintage yang
begitu menggoda dan asyik disaksikan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang mengganggu:
tone biru yang digunakan pada adegan di Batipuh nampak terlalu “biru” dan cukup
kontras dengan adegan lainnya serta adegan pemberangkatan kapal Van Der Wijck
yang kelihatan sekali hasil rekayasa. Soundtrack musik dari Nidji sesungguhnya
cukup enak didengar – walau main song Sumpah dan Cinta Matiku memang terdengar
ala Young and Beautiful Lana del Rey di film The Great Gatsby. Namun boleh
dibilang kadang penempatan musiknya sedikit mengganggu, diulang-ulang, dan sedikit miss dengan setting filmnya.
Overview:
Kegagalan fatal dari film TKVDW adalah skenarionya yang mendayu-dayu ala lagu
dangdut, dan karakterisasi Zainuddin dan Hayati yang tidak begitu kuat. Akting Junot dan Pevita juga masih terasa kaku, sehingga kurang
menghidupkan kisah roman yang seharusnya terasa romantis sekaligus tragis (dan justru
membuat saya menyinyirin karakter Hayati yang selalu menangis di segala kesempatan – tapi ajaibnya
mata menangisnya nggak pernah merah, nggak bengkak, dan eye-liner-nya terbukti water-proof). Untungnya, TKVDW terselamatkan
berkat akting Reza Rahadian yang menonjol (begitu pula dengan kegantengannya,
haduuh..), setting retro yang mewah dan memukau, sinematografi yang begitu
cantik, dan soundtrack dari Nidji yang layak untuk didengarkan. Akhir kata,
TKVDW adalah roman picisan yang dipresentasikan dengan mewah. Cukup layak lah untuk
disaksikan.
NikenBicaraFilm: 3/5
maaf ane kagak ngerti maksud review ente....katanya tkvdw roman picisan tapi kok layak disaksikan???setahu ane kalo namanya picisan ya..gak layakdisaksikan....atau ente gak tau arti picisan????
BalasHapusMaksud saya begini bang Erpan,
HapusTKVDW adalah roman yang begitu gampang ditebak, dengan drama yang mendayu-dayu ala novel roman klasik, namun divisualisasikan dengan luar biasa indah dan cantik. Makanya, diluar ceritanya yang standar, film ini tetap layak disaksikaaan..
banyak orang pingin lihat film ini, barangkali ini langka di dunia perfilman indonesia yang settingnya rada nyleneh dan jarang ditemui
BalasHapussaya suka si film ini,,, malah sekarang box office kan, good review
BalasHapusSutradara Indonesia g' Bisa bikin film karya sendiri,,bisa'y nyiplak dari Novel Legendaris'..makan'y saya nggak suka film Indonesia' yg diangkat dari Novel,, kebanyakan novel yg divisualisasikan malah mengecewakan masih liadh trailer'y sja sudah malas',,liadh ajha poster film'y Pevita Pearce pakai Tanktop.. apa ada adat istiadat minanngkabau yang dijabarkan Buya Hamka dalam Novel'y bahwa Hayati memakai Tanktop...???? ada ada saja......hmmmm
BalasHapusmenurutku mbak, karena tau bahwa orang Indo belum terbiasa menonton film yg diangkat dari karya sastra, makanya si sutradara "gedein" dari segi visual. sayangnya nih, bukunya Buya Hamka di era pendidikan masa kini nggak jadi buku wajib yang bikin orang2 punya motivasi untuk nonton filmnya (walau sebatas ingin membandingkan film dg buku). tbh, bukunya sendiri susah dicerna huhu
BalasHapusAku aja gag pernah tahu bukunya. Guru bahasa Indonesia lebih suka kita belajar paragraf ini termasuk induktif atau deduktif... gitu deh.. kita diajari mahir nulis ilmiah, tapi gag pernah diajari nulis sastra.
HapusSangat bagus film nya, terutama dialog yang sarat dengan nilai budaya minang diawal cerita, seperti disadur langsung dari novelnya.....walau tidak seluwes romie n juliet, ini patut untuk di apresiasi sebagai tontonan yang cukup bagus..
BalasHapus