Young Victoria (2009)


Directed by Jean-Marc Vallée ; Produced by Martin Scorsese, Graham King, Sarah Ferguson ; Written by Julian Fellowes ; Starring Emily Blunt, Rupert Friend, Miranda Richardson, Jim Broadbent, Paul Bettany, Mark Strong, Thomas Kretschmann, Julian Glover, Michael Maloney, Rachael Stirling ; Music by Ilan Eshkeri ; Cinematography Hagen Bogdanski ; Editing by Jill Bilcock, Matt Garner ; Studio GK Films ; Distributed by Momentum Pictures (UK, Apparition (USA) ; Release date(s) 6 March 2009 (2009-03-06) (United Kingdom) ; 18 December 2009 (2009-12-18) (United States), Running time 105 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $35 million ; Gross revenue $27,409,889

Genre : Drama
Rated :
NikenBicaraFilm:

Rotten Tomatoes : 76%
Metacritic : 64/100

Sinopsis :
Merekam kehidupan Queen Victoria (Emily Blunt), pada masa mudanya ketika menjadi ratu Inggris pada usia ke-18. Kehidupan sang ratu ini dimulai dari masa kecilnya yang suram di bawah pengasuhan ibunya, the Duchess of Kent (Miranda Richardson) akibat kontrol Sir John Conroy (Mark Strong), berlanjut ke kehidupannya setelah menjadi ratu yang dikelilingi oleh banyak orang yang mendekatinya secara politis, termasuk Lord Melbourne (Paul Bettany) dan jalinan asmaranya dengan Prince Albert (Rupert Friend).


Review :
Kisah mengenai kehidupan keluarga besar kerajaan Inggris selalu sangat menarik untuk disaksikan. Keglamoran, intrik politik, kekuasaan, atau bahkan hubungan asmara terlarang. Saya yakin Anda pasti sudah menonton The King’s Speech arahan Tom Hooper yang awal Maret kemarin menjadi Best Picture pada ajang Academy Awards 2011, yang mengangkat sisi humanisme dari seorang raja. Mungkin Anda juga sudah pernah menonton Elizabeth yang dibintangi si fabulous Cate Blanchett, yang mengangkat kisah mengenai Elizabeth I sebagai ratu pertama Inggris. Lalu, Young Victoria, menceritakan tentang apa?

Well, setelah menonton film ini selama 5 menit, dan sok-sokan menonton dengan subtitle bahasa Inggris dan gag ngerti hampir separuh kata yang digunakan (*Oh, Tuhan. Toefl saya memang tidak tinggi!), saya terpaksa merewind film ini, menonton filmnya lagi, sambil kemudian membuka kamus dan mereka-reka konflik apa yang sedang terjadi untuk mengetahui jalan cerita yang ada. Tidak mudah memang, apalagi saya tidak mengikuti kehidupan keluarga besar kerajaan Inggris. (*Yang saya tahu kemudian, Victoria ini akan menurunkan Edwards VII, kemudian George V, dan lalu George VI – yang ceritanya pasti sudah Anda saksikan lewat film Oscar 2011, The King’s Speech. FYI, George VI ini adalah bapaknya ratu Elizabeth II yang ada sekarang). Setelah memahami konflik yang menyertai kehidupan Queen Victoria, sampailah saya pada sebuah kisah yang cukup pelik dan melibatkan banyak hal.


Ada banyak hal yang dialami Queen Victoria: permasalahan dengan ibunya, kendali pemerintahan oleh orang kepercayaannya Lord Melbourne, ketidakmampuannya dalam mengendalikan pemerintahan (karena Queen Victoria memang masih berusia 18 tahun ketika menjadi ratu) dan percintaannya dengan Prince Albert. Terlalu banyak konflik, namun hingga film ini berakhir penonton tidak disuguhi oleh sebuah penyelesaian yang baik mengenai konflik-konflik yang terjadi. Konflik-konflik tersebut berakhir dengan tidak menimbulkan sesuatu yang mampu dipetik hikmahnya, seolah-olah permasalahan tersebut berakhir dengan begitu saja. Menonton film ini, meniru seorang reviewer yang saya baca di internet, bagaikan menonton sebuah dokumentari mengenai kehidupan Queen Victoria, tanpa sebuah adegan dramatisasi yang mampu mengikat penonton secara emosional. Rasa-rasanya, kita tidak mampu terikat pada sosok seorang Queen Victoria. Boleh dibilang dianalisa dari segi plot, film ini terasa datar dan sedikit membosankan. Percintaannya dengan Prince Albert, saya melihat chemistry kedua pemerannya kurang nampak. Dan percintaannya sendiri sedikit lack or romance, kalo boleh saya berbicara dari kacamata gadis kecil yang mendambakan kehidupan cinta ala putri dan pangeran. Hehe. Romantisme itu terbangun hanya pada sepertiga awal film saja, kemudian sepertiga berikutnya lebih membahas bagaimana Victoria memimpin negaranya, dan baru sepertiga berikutnya tahu-tahu mereka sudah menikah.

Tapi syukurlah, Emily Blunt (The Devil Wears Prada) memerankan dengan sangat baik. Karakter anggun yang dimiliki oleh seorang ratu, memancar dengan baik melalui sosok Emily Blunt. Tak bisa saya bayangkan, siapa pemeran yang jauh lebih baik dari Blunt. Rupert Friend, pemeran Prince Albert sesungguhnya masih belum mampu mengimbangi akting Blunt. Tapi untunglah, berkat wajah gantengnya, itu sangat menolong. Lol. ^^

Dan syukur pula, kedataran dari segi cerita dan penyutradaraan tertolong pula oleh kemegahan kostum dan art directing yang sangat menawan. Kemewahan dan kemegahan istana Inggris tergambarkan dengan baik melalui kostum-kostum yang sangat indah, serta segala dekorasi dan properti yang sangat mendukung. Sungguh, sepanjang 1 jam 44 menit saya dibikin terpukau oleh kemegahan itu, dan pemanjaan itu membuat mata saya ini terhibur. Adegan ketika Queen Victoria pada seremoni pengangkatan (coronation) dirinya, ditampilkan dengan sangat megah dan glamour. Saya sampai dibikin ikut merinding melihatnya – terutama dengan musik pengiring yang sangat sesuai dan seruan “God save the Queen! God save the Queen!”. Baik kostum maupun make-up, terasa sangat meyakinkan dan menawan. Ketika melihat Prince Albert yang sebenarnya (melalui gambar yang ada di wikipedia), saya menangkap replika sesungguhnya sosok Prince Albert di film dengan kenyataan.


Selain itu, saya juga merasa terhibur dengan sinematografi yang cantik, yang mampu merekam kemewahan-kemewahan yang ditampilkan dengan sangat indah. Bahkan, scene awalnya, ketika menampilkan barisan prajurit Inggris (saya menyebutnya prajurit pentol korek api – sosok prajurit yang bisa Anda lihat pada biskuit Monde. *ups, sebut merek.), ditampilkan dengan baik. Begitu menjanjikan pada adegan-adegan pembukanya – walaupun kita mungkin akan merasa sedikit kecewa ketika film ini kemudian berakhir.

Yaaa... menonton Young Victoria memang memberikan kenikmatan, dari segi kostum dan properti pendukung. Namun sayang sekali, jalan cerita yang ditawarkan dan diungkap terasa tidak terlalu menarik. Bahkan seolah-olah tampil tidak terlalu spektakuler untuk diceritakan. Tapi apakah saya enggan untuk menontonnya lagi? No. Mata saya masih ingin dimanjakan. ^^

Direkomendasikan untuk :
Pecinta dan penikmat film sejarah & kerajaan Inggris, yang ingin mengetahui bagaimana kehidupan awal Queen Victoria.

Best Scene :
Seremoni ketika Victoria diangkat menjadi ratu. Kemegahan itu – kostum, interior, set lokasi – sungguh memberikan kenikmatan bagi penonton!

Fact Fact Fact :

Menonton film ini membuat saya penasaran, apakah film ini memang sama akuratnya dengan kisah nyata mendiang Queen Victoria. These, are the stories that i read from wikipedia about Queen Victoria :

Queen Victoria, merupakan pemegang kekuasaan terlama di Britania Raya. Memimpin sejak usia 18, sampai wafatnya (1837 – 1901). Victoria adalah anak dari Prince Edward, Duke of Kent and Strathearn, anak King George III dan Princess Victoria of Saxe-Coburg-Saalfeld, Duchess of Kent. Duke of Kent, bapaknya Victoria, adalah anak laki-laki keempat dari King George III. Ketiga anak laki-laki tertuanya, George IV, Frederich (Duke of York) dan William IV gag punya legitimate children. Jadinya, gag ada pilihan lain, Victoria lah yang akan memegang tahta sebagai pemimpin Britania Raya setelah ayah dan paman-pamannya.

Baik kakeknya (King George III) dan ayahnya (Prince Edward), meninggal pada tahun 1820, hanya selang beberapa minggu, sedangkan Duke Of York meninggal pada tahun 1827. Selepas King George III meninggal tahun 1820, raja berikutnya adalah George IV (memimpin sampai 1830), dan kemudian digantikan adiknya William IV (memimpin sampai 1837). Menurut sejarah, pada tahun 1836, William (yang berarti om-nya Victoria), mengatakan bahwa ia ingin hidup sampai Victoria berusia 18. Soalnya, jika pada saat kematiannya Victoria belum berusia 18, kekuasaan akan diwakilkan kepada ibunya, Duchess of Kent, dan pamannya itu tidak percaya kepada adik iparnya. (Cerita ini akan ditunjukkan di film pada adegan sebuah perjamuan makan ketika William ulang tahun).
Victoria kecil dirawat oleh ibunya dan Sir John Conroy (yang konon disebut-sebut sebagai affair lover sang Ibu) dengan sangat protektif dalam sebuah sistem yang disebut Kensington System (ini disebutkan pada awal film). Sistem ini mengharuskan Victoria untuk tidur sekamar dengan ibunya, dan tidak diperbolehkan bertemu dengan orang lain tanpa seijin ibunya dan Conroy. Ketika masa remaja, ibunya sering mengajak Victoria berkeliling, namun perjalanan itu justru menyebabkan Victoria jatuh sakit. Ketika sakit inilah, ibunya dan Conroy ‘memaksa’ Victoria untuk menjadikan Conroy sebagai sekretaris pribadinya – yang akhirnya ditolak mentah-mentah oleh si calon ratu. (Adegan ini ditampilkan di awal-awal film).

Kemudian tersebutlah Leopold I, raja di Belgia sejak tahun 1831, yang gag lain gag bukan adalah saudara laki-laki dari ibunya Victoria. Leopold berkeinginan menjodohkan keponakan laki-lakinya, Albert, dengan Victoria. Jadi ini semacam perjodohan sepupu. (*Whatt?? Kayak gag ada cowok lain aja...). Maka, diutuslah Albert pergi ke Inggris pada tahun 1836, ketika Victoria berusia 17. Nah, benih-benih cinta ini mulai tumbuh, seperti Queen Victoria menyebutkan dalam diarynya : "[Albert] is extremely handsome; his hair is about the same colour as mine; his eyes are large and blue, and he has a beautiful nose and a very sweet mouth with fine teeth; but the charm of his countenance is his expression, which is most delightful”. Sementara itu, pamannya sendiri yang seorang raja, (William IV) berniat menjodohkan Victoria dengan Alexander, pangeran dari Belanda. Tapi Victoria sendiri gag ‘suka’ sama Alexander.

Victoria pun kemudian menjadi Queen, sejak wafatnya pamannya ketika usianya baru 18 tahun 1 bulan. Pewakilan kekuasaan pun gagal dilakukan (kalo di film ini ditunjukkan dengan Victoria enggak menandatangi surat persetujuan pewakilan kekuasaan kepada Conroy). Penobatan Victoria dilakukan tahun 1838, dan Victoria menjadi ratu pertama yang menempati Buckingham Palace.

Pada awal kepemimpinannya, Victoria menjadikan Lord Melbourne sebagai penasehatnya. Segala keputusan Victoria, akibat kekurangpengalamannya dalam memimpin negara, sangat terpengaruh oleh Melbourne. Ada suatu kejadian, ketika popularitas Victoria pada awal kepemimpinannya merosot, dan seseorang mengejeknya “Mrs. Melbourne” di tempat umum. (Hal ini dimasukkan juga di film, ketika Victoria sedang nonton opera).


Albert dan Victoria kemudian menikah di tahun 1839. Pernikahan itu dilakukan setelah Victoria melamar Albert (*What? Yeahh... selama sang cewek adalah ratu, maka wajar kalo cewek yang ngelamar cowok...), lima hari setelah kedatangan Albert ke Inggris. Sosok Albert ini kemudian menggantikan dominasi Melbourne.

Baik di film maupun di kisah nyata, diceritakan pula bahwa Victoria ‘membenci’ ibunya. Ia menyalahkan sistem Kensington yang diterapkan ibunya kepadanya saat ia kecil. Bahkan setelah menjadi ratu, Victoria enggan untuk menemui ibunya. Namun, menurut cerita yang saya baca di wikipedia, setelah kematian ibunya pada Maret 1861, Victoria baru menyadari bahwa ibunya sebenarnya sangat menyayanginya. Hal ini membuat ia menyesali dan bersedih, lalu menyalahkan Conroy dan pelayannya sejak kecil, Lehzen yang menurutnya telah membuatnya membenci ibunya. Perseteruan Albert dan Lehzen juga diceritakan di film, yang berdasarkan sejarah kejadian tersebut benar adanya. Albert merasa ia hanya seorang ‘suami’, bukan kepala keluarga, dan segala peraturan rumah tangga istana diatur oleh si Lehnzen. Akhirnya, si Lehnzen ini pun ‘diusir’ dari istana.

Oh ya, ada perbedaan cerita pada adegan percobaan pembunuhan kepada sang Ratu. Di kisah sesungguhnya, percobaan pembunuhan itu dilakukan oleh Edward Oxford yang mencoba menembak Ratu ketika Ratu sedang naik kereta kuda bersama Albert. Percobaan itu gagal, karena peluru meleset. Nah, di film, peluru yang meleset itu mengenai Albert yang mencoba melindungi Victoria. Nyatanya, Albert tidak pernah melindungi Victoria bak pahlawan seperti dalam film. Dan adegan yang heroik ini, plus ketika Albert mengungkapkan 2 alasan mengapa ia melindungi Victoria, seperti noda kecil dalam film yang terlihat ‘cheesy’ bagi saya.

Albert, di tahun 1861 meninggal pada usia 42 akibat typhoid fever. Meninggalnya suaminya ini membuat Victoria berduka dalam waktu lama, dan bahkan enggan untuk tampil di depan publik dan mengenakan baju berwarna hitam selama sisa hidupnya. Ia kemudian mendapat julukan : widow of Windsor. *Walaupun konon di tahun 1860-an Victoria diduga terlibat semacam hubungan romantis dengan John Brown, seorang bujangan dari Irlandia. Kisah ini sendiri difilmkan dengan judul Mrs. Brown. Btw, Albert dan Victoria sendiri memiliki 9 anak.

Oke. Sekian.

Pelajaran sejarah dari saya cukup sudah saat ini. Kalau Anda masih berniat pengen tahu lebih dalam, googling aja sendiri... ^^

Membaca sejarah di atas semoga bisa membangkitkan minat Anda menonton film ini. Saya sih juga berharap, setelah mempelajari kembali silsilah kerajaan Singasari, akan ada produser dan sutradara Indonesia yang berkenan membuat film mengenai sejarah Singosari, maupun hikayat sejarah Indonesia yang lain. =) Hehehe...

Komentar