Ada kontradiksi yang menarik sebenarnya dari kegemaran saya - atau kita semua - menonton film horror. Saya suka banget nonton film horror, padahal saya tuh penakut parah di kehidupan nyata (saya ga pernah nyaman untuk tidur dengan lampu dimatikan, murni alasannya karena takut hantu!). Tapi ya mungkin alasan saya dan kamu menonton film memang untuk mencari sensasi lain yang ga bisa kita dapatkan di kehidupan nyata. Sensasi takut dan jijik dengan nonton film horror adalah sensasi yang menyenangkan dan tentu saja relatif aman, dibandingkan misalnya: bermain ke kuburan atau main jaelangkung. Jadi, hanya dengan nonton film horror kita dapat serunya adrenaline rush, tanpa resiko berbahaya mengancam nyawa atau kesurupan.
Tulisan kali ini sebenarnya iseng aja, hanya dari kacamata penonton awam yang kebetulan menyukai film horror. Saya pengen bahas aja kenapa beberapa film horror yang saya sebutkan di sini adalah film horror yang baik di mata saya. Definisi baik berarti film ini bisa bikin saya takut, stress, depresi, atau juga... ketawa senang (wow ternyata batas takut dan senang itu bisa beda tipis). Saya ngrasa contoh film horror yang saya sebutkan di sini berhasil karena satu hal: sang sutradara tahu benar gimana memainkan emosi penonton dari awal hingga akhir film. Ini poin penting banget bagi film horror. Kita ingin sensasi yang kita dambakan dari nonton film horror itu ada terus hingga film berakhir. Sutradara film horror tuh harusnya tahu banget gimana memainkan mood dan tempo filmnya, sehingga ketika filmnya sudah buyar pun, penonton masih ngerasa "dihantui". Hal ini bisa dilakukan dengan membuat bagian akhir film semakin mengerikan, menyeramkan, mengejutkan, menjijikkan.. pokoknya makin ke belakang makin asyique ~
Oke, mari kita bahas. Tentu saja, tulisan ini full spoiler.
HEREDITARY
(Ari Aster, 2018)
Sinopsis: sebuah keluarga mengalami kejadian-kejadian aneh setelah sang nenek meninggal dunia.
Contoh film pertama yang kayaknya sempurna untuk dibahas adalah Hereditary. Saya rasa film ini adalah salah satu film horror modern terbaik dekade ini. Saya keinget banget kesan yang saya dapatkan kelar nonton film ini: depresi. Berasa hidup ga sama lagi habis nonton ini hahaha. Sumpah saya stress saat keluar dari gedung bioskop, dan sampai sekarang saya ga punya niat untuk nonton ulang film ini lagi. Jeritannya Toni Collette bahkan berasa terngiang-ngiang terus di kepala hingga beberapa minggu setelah menontonnya.
Ari Aster dalam salah satu interviewnya pernah bilang bahwa dia pengen bikin film kebalikan dari American family drama. Kebanyakan film drama keluarga yang "normal" biasanya punya alur sbb: perkenalan-ada masalah-penyelesaian masalah-happy ending. Intinya ada pertengkaran keluarga, yang kemudian diselesaikan dengan rekonsiliasi. Tapi Ari Aster pengen bikin film dimana masalah ga selesai, malah makin parah. Itulah yang terjadi di Hereditary, ketika kamu berharap karakter Toni Colette mendapatkan kunci penyelesaian masalah, yang terjadi justru sebaliknya: suaminya terbakar, dan anaknya yang lakik malah jadi titisan iblis. Hereditary sukses mengantarkan kita ke situasi tidak enak dan traumatis, yang makin lama malah makin ngeri, dengan ending yang super creepy. Itulah kenapa Hereditary sukses membuat kita (atau setidaknya saya pribadi) jadi depresi.
ROSEMARY'S BABY
(Roman Polanski, 1968)
Sinopsis: sepasang suami istri pindah ke sebuah apartemen, bertetanggaan dengan pasangan eksentrik yang misterius.
Ini salah satu film classic horror favorit saya dan kayaknya juga jadi kesayangan sejuta umat. Menarik sebenarnya karena film ini elemen horrornya ga banyak. Kayaknya malah cuma 2 scene deh yang beneran horror.
Saya dulu sempat mikir Rosemary's Baby ini begitu membosankan di bagian awal, ketika film hanya bergulir pada perkenalan kita dengan karakter Rosemary (Mia Farrow), suaminya, dan tetangga nyentrik mereka (yang ternyata pemuja setan). Tapi justru di sini poin utamanya. Polanski kayaknya mengajak kita untuk menyelami kehidupan Rosemary, yang pada awalnya terasa normal dan biasa-biasa aja, sehingga kita akan ngerasa related dan jatuh simpati dengan karakternya sebagai protagonis. Lalu ketika penonton akhirnya diajak untuk mengetahui kengerian apa yang dialami Rosemary, kita akan merasa ketakutan dan kecemasan yang sama. Daripada sekedar menakut-nakuti, Rosemary's Baby memang lebih mengajak kita untuk merasa cemas dan berpikir ulang apakah segala kecemasan ini beneran nyata. Lalu gong-nya pun hadir di akhir film, yang cukup memorable bagi saya. Hail Satan! Hail Satan!
RINGU
(Hideo Nakata, 1998)
Sinopsis: seorang jurnalis menyelidiki sebuah video misterius yang mengutuk orang yang menontonnya mati dalam tujuh hari.
Salah satu alasan keberhasilan Ring bikin saya bermimpi buruk dan jadi paranoid melihat sumur tentu saja adalah hantu Sadako yang ikonik. Dengan rambut panjang menutup kepala dan baju putih-putih, ia akan mengingatkan kita kepada hantu lokal khas Indonesia, mbak Kunti. Dan kemiripannya ini bikin Ring relatable dengan ketakutan kita sebagai orang Indonesia, dibandingkan monster-monster dalam folklore Barat seperti Vampir atau Zombie. Tapi sebenarnya alasannya ga cuma itu saja...
Saya pikir penempatan hantu Sadakonya inilah yang bikin Ring berhasil. Ring adalah slow burn horror movie. Walau saya sudah lama sekali ga nonton film ini, saya teringat betapa lambat, pelan dan sepinya film ini berjalan. Berasa tokohnya mau noleh aja kayak lamaaaa banget. Sebelum momen puncak, kita cuma melihat sedikit misteri-misteri aneh yang ga sabar ingin kita pecahkan. Lalu tiba dj adegan puncaknya:. oke, televisi memainkan video memperlihatkan gambar sumur. Lalu dari dalam sumur seorang perempuan berambut panjang keluar dan berjalan pelan. Ini sudah super creepy. Tapi klimaksnya tentu saja adalah ketika si hantu ternyata bisa keluar dari televisi (dimana kita ga mengira itu sebelumnya). Gimana momen ini ga jadi ikonik? Ini seolah-olah mengaburkan batas antara televisi dan dunia nyata. Sukses membuat saya parno jikalau suatu saat nonton film hantu dan tiba-tiba hantunya keluar dari TV... menaruh momen krusial yang super nakutin di bagian menjelang akhir (apalagi ketika kita mengira kutukan sudah berhasil dipatahkan), tentu menjadi ending yang tak terlupakan.
AUDITION
(Takashi Miike, 1999)
Sinopsis: seorang pria mengadakan audisi casting film, yang sebenarnya audisi bohong-bohongan ini ia gunakan untuk mencari pendamping hidup.
Menonton Audition pada pukul 12 malam adalah ide yang saya sesali, karena saya teringat saya stress berat setelah menonton ini dan tidur sambil bermimpi buruk. Saya rasa keberhasilan film Audition (dan menjadikannya salah satu cult film horror) adalah karena trik yang sama dengan yang dilakukan Polanski di Rosemary's Baby.
Audition menjadikan hampir tiga perempat filmnya hanya menceritakan tentang karakter Aoyama, seorang duda naif baik hati yang kebetulan melakukan keputusan keliru. Kalopun ada adegan seram, hanya adegan-adegan absurd misterius yang muncul sesekali seolah-olah mengingatkan saya bahwa ini film horror, bukan film drama. Bagian drama ini mungkin terasa membosankan buat sebagian besar orang, tapi buat saya terasa penting karena saya jadi jatuh simpati pada karakter utamanya. Saya terhubung dengan karakternya. Itulah kenapa kemudian pada bagian akhir film ini, dimana Asami mulai menyiksa Aoyama dengan aneka macam gaya, saya langsung merasa ngeri yang membuat saya stress (beda dengan kengerian karena nonton Saw misalkan, yang terasa lebih fun). Adegan penyiksaan/gore Audition ini cuma ada di bagian akhir lho, tapi dampaknya buat saya jauh lebih membekas dibandingkan film-film gore lain.
THE FLY
(David Cronenberg, 1986)
Sinopsis: Seorang ilmuwan tidak sengaja melakukan kesalahan dalam eksperimennya dan berubah pelan-pelan menjadi serangga.
The Fly menjadi karya Cronenberg yang paling populer salah satunya disebabkan oleh performa Jeff Goldblum, sebagai pria malang yang mengalami kesalahan eksperimen dan berubah menjadi... brundlefly, alias hybrid manusia-lalat. Selain itu The Fly juga terkenal karena kisah cinta romantisnya yang berujung tragis. Tapi kita tahu satu hal, The Fly ini fenomenal karena tentu saja body horrornya, yang membuatnya berhasil memenangkan kategori Best Makeup pada pagelaran Oscar.
Kita menyukai body horror karena.... yah itu seru. Ada kesenangan tersendiri (yang sejujurnya tak rasional?) saat melihatnya. Semakin menjijikkan dan semakin aneh, artinya semakin asyik.. Transformasi karakter Jeff Goldblum, dari sekedar tumbuh benda asing di kulitnya, lalu kulitnya mendadak berubah, lalu memuntahkan cairan aneh yang bisa menghancurkan tanganmu... sangat menyenangkan untuk ditonton. Dan ketika kamu mengira kamu sudah melihat transformasi yang cukup buruk, perubahan bentuk yang terjadi akan semakin parah.... dagu yang terlepas, bola mata copot, lalu hybrid lagi dengan pintu metal. What the fuck. The Fly jelas mempunyai akhir yang sulit untuk dilupakan (ditambah lagi, dimana sang pacar harus membunuh karakter Jeff Goldblum untuk mengakhiri penderitaannya).
INSIDE
(Julien Maury & Alexandre Bustillo, 2007)
Sinopsis: seorang perempuan kedatangan tamu misterius yang berusaha masuk ke rumahnya dan mengambil bayi yang dikandungnya.
Selamanya saya akan berterima kasih kepada seorang teman yang merekomendasikan film slasher home invasion ini. Dengan bergalon-galon darah, Inside jelas bukan film yang menyenangkan untuk ditonton kamu yang berhati lemah. Saya menemukan diri saya bolak balik ikut merasa ngilu, tapi sekaligus... ketawa ngeri (serius deh, apa takut dan senang itu batasnya tipis ya?).
Inside memulai filmnya dengan cerdas, bergerak lambat, lebih ke arah mencekam secara psikologis. Lalu... pesta berdarah pun dimulai. Trik yang dilakukan Inside kurang lebih serupa dengan The Fly. Ketika kamu merasa sudah melihat yang terburuk, semakin ke belakang penyiksaan yang ada akan makin parah, dan artinya.. lebih banyak darah yang bikin perut mulas. Hanya ada jeda sebentar untuk merasa lega dan menarik napas, tapi lalu kengerian kembali muncul dengan kadar yang semakin lama semakin ancur-ancuran... asyique!
...
Nah sekarang menurut kamu, film horror mana lagi yang kira-kira berhasil melakukan hal serupa seperti yang saya sebutkan di atas?
Pernah nonton film lama The Asphyx, mbak?saya nonton pas SMP nemu koleksi lama sodara.masih kaset VHS.film lama taon 1972.ini horror scient kayaknya.saya banyak kepikiran bertaon taon.bikin takut cahaya senter kalo mati lampu..hahaha.
BalasHapusMbak review DUNE doong, lanjutkan review karya2nya om Denis hehe
BalasHapusBaru kali ini aku balik ke web ini, sekarang mba niken sudah jenuh bahas ttg film, ada apa, kenapa, kita tidak, untuk mba niken aku berharap passion reviews ttg film bisa kembali, diluar sana ada bnyk film yg bagus & harus direview niken. I hope you ok, we love you. Inst: @akemimoji
BalasHapusyess we love old mbak niken ��
BalasHapustapi wajar sih beliau sudah berkeluarga & punya anak, jadi blog ini sesekali aktif aja udah syukur.
btw mbak niken masih cukup aktif bahas film di Instagram & Facebook kok
Kesuksesan film banyak tergantung kepada berbagai faktor. Pandemi menjadi banyak halangan untuk peredaran film sehingga banyak yang ditunda penayangannya. Kalau dipaksakan bisa rugi
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusAku suka film horor jenis apapun. Gore pun no problem. Tapi aku udah nemu sesuatu yang adrenalin rush dgn dosis lbh tinggi drpd nntn film horor. Yaitu: main game horor. Karena merasa mgendalikan si tokoh utama. Jd rasanya lbh terlibat drpd sekedar nntn doang. Paling suka kalo game horornya gak terlalu dar der dor & melibatkan bnyk puzzle utk bisa survive. Next, you should try it.
BalasHapus