"I am not an
animal! I am a human being! I...am...a man!"
Rotten Tomatoes: 91%
Rated: PG
Rotten Tomatoes: 91%
Imdb: 8.3/10
NikenBicaraFilm: 3/5
Rated: PG
Genre: Drama
Directed by
David Lynch ; Produced by Stuart Cornfield, Mel Brooks (uncredited) ;
Screenplay by Christopher De Vore, Eric Bergren, David Lynch ; Based on The
Elephant Man and Other Reminiscences by Sir Frederick Treves and in part on The
Elephant Man: A Study in Human Dignity by Ashley Montagu ; Starring John Hurt,
Anthony Hopkins, Anne Bancroft, John Gielgud, Wendy Hiller ; Music by John
Morris ; Cinematography Freddie
Francis ; Editing by Anne V. Coates ; Studio Brooksfilms ; Distributed by EMI Films,
Columbia-EMI-Warner (UK), Paramount Pictures (US) ; Release date(s) 3 October 1980 (New York), 10 October 1980 ;
Running time 124 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language
English ; Budget $5,000,000
Story / Cerita / Sinopsis :
John Merrick
(John Hurt) lahir dengan cacat bawaan – kepalanya lebih besar daripada kepala
normal lainnya, dengan bentuk tubuh yang aneh dan membuatnya dijuluki “The
Elephant Man”. Ia kemudian menjadi bagian dari freak show di sebuah sirkus,
hingga akhirnya ditemukan oleh Frederick Treves (Anthony Hopkins) yang
membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa dan dirawat sebagaimana ia seharusnya
– seorang manusia biasa.
Review / Resensi :
Tidak mudah
sebenarnya bagi saya untuk menonton film lawas. Tapi demi menunjukkan pencitraan
sebagai seorang moviegoers sejati (ya begitulah adanya), saya harus travelling tanpa membatasi diri
genre maupun kapan film itu dibuat. Sejujurnya, film lama sesungguhnya
berpotensi besar dalam membosankan saya, dengan dialognya yang sering tampak
formal, editingnya yang masih sangat kaku, dan efek-efeknya yang masih
sangat ketinggalan jaman. Namun etikanya saya harus memberikan apresiasi penuh kepada film-film lama yang
membawa perubahan sehingga saya bisa menyaksikan film-film hebat masa kini
yang saya sukai.
The Elephant
Man disutradarai oleh David Lynch, dan ini merupakan film yang konon katanya
paling mainstream dan komersial yang pernah dibuatnya. Sebuah film drama biasa
tanpa alur cerita yang membuat pusing penontonnya – yang dilakukannya di
film-film lainnya seperti Blue Velvet (1986) dan Eraserhead (1977). Saya sendiri tidak pernah
menonton film-film Lynch, The Elephant Man adalah film pertamanya yang saya
tonton. FYI, Lynch adalah sutradara dengan gaya penyutradaraan yang
artistik-surealis dan bahkan memiliki sebutan “Lynchian” untuk gaya
penyutradaraan khasnya ini. Kamu tahu seseorang adalah sutradara hebat kalau
bahkan ada kosakata baru yang merujuk ke namanya.
Lynch
membawa The Elephant Man dalam visual hitam putih, membuat film ini lebih lama
dari seharusnya, mungkin karena memang setting filmnya adalah seabad yang lampau. Akan
ada gaya khas Lynch – ditunjukkan dengan visual mimpi sang Elephant Man, maupun
adegan pembuka yang menunjukkan seorang wanita yang diterjang gajah - yang saya tidak tahu apa maksudnya adegan ini. Lynch membawa film ini dengan gaya bertutur yang lambat, dan
sejenak membuat saya bosan di awal film. Tapi Lynch dengan cerdik menyimpan
sosok Elephant Man hingga saatnya nanti, membuat penonton bertanya-tanya pada
awal film seburuk apa rupa sang manusia gajah ini. Membuatmu merasa terganggu
terlebih dahulu dengan suara nafasnya yang annoying – yang akan membuatmu
menggeser tempat dudukmu di bus seandainya orang asing memiliki suara nafas
seperti ini duduk di sebelahmu – hingga akhirnya memperlihatkannya di saat yang
tepat. Dan jujur, make-up John Merrick sangat mengerikan dan meyakinkan – dan
merupakan salah satu terobosan besar di dunia make-up pada saat itu.
The Elephant
Man hadir sebagai film drama yang memperlihatkan ironinya kehidupan. Sirkus
freak-show seperti sebuah sindiran kejam bagi orang-orang yang mendapatkan
keuntungan dari ketidak-normalan orang lain, dan memamerkannya ibarat hewan
langka. Sebuah sindiran halus juga bagi kita masyarakat biasa yang berusaha
menerima “ketidaknormalan” orang lain, namun tetap memperhatikan dan
membicarakannya karena rasa penasaran. Menjadi makin menyedihkan ketika
fenomena ini katanya benar-benar ada, dan memang film ini diambil dari sebuah
buku karangan Frederick Treves (di sini diperankan oleh Anthony Hopkins –
sebelum ia menggigit lidah orang sebagai Hannibal), walaupun menurut trivia yang
saya baca di imdb.com, kisah Merrick sendiri tidak sedramatis seperti yang
ditampilkan di sini.
Sebagai
sebuah film drama, memang The Elephant Man menyentuhmu dengan lembut. Namun
bagi saya, sentuhan itu terlalu lembut sehingga saya merasa The Elephant Man
berjalan terlalu klise dan mudah ditebak. (Saya tahu sebagian dari kamu akan
membenci saya karena mengatakan ini, apalagi film ini memang dicintai semua
orang). Alur film ini menurut saya pribadi berjalan terlalu linier,
less-dramatic, dan pada akhirnya tidak bisa memancing air mata saya. Elephant
Man hidup dalam kekejaman yang begitu menyakitkan, namun di film ini entah
kenapa tidak terlalu membuat saya memahaminya. Mungkin karena kekejaman dan
penderitannya digambarkan terlalu gamblang dan terlalu sentimentil.
Karakterisasinya bahkan terlalu hitam-putih. Stereotype yang jelek-miskin
selalu baik hati dan yang cantik-kaya selalu jahat nampak benar di film ini,
dan (maaf) ini membosankan buat saya. Kelemahan inilah yang membuat saya merasa
The Elephant Man tidak terlalu mengesankan – atau mungkin saya saja yang
menontonya dengan kacamata “modern” dan tidak bisa menanggalkannya untuk
menontonnya dengan perspektif 30 tahun yang lampau.
Akan tetapi,
menurut saya poin terbaik The Elephant Man ada pada akting John Hurt. Tidak
mudah berakting dengan make-up dan properti yang melekat pada tubuh seperti
itu, namun John Hurt membawakannya dengan begitu cantik – dan entah bagaimana di balik make-up topengnya yang seperti itu
bisa menimbulkan simpati yang luar biasa bagi saya, dengan mata sendunya dan
bagaimana ia berbicara dengan terpatah-patah. Wajar jika kemudian John Hurt
meraih nominasi pada katagori Best Actor di Academy Award tahun 1981 – walau ia
tidak memenangkannya.
Overview:
The Elephant
Man akan sangat menyenangkan dan menyentuh untuk ditonton, tapi itu kalau kau
menontonnya 30 tahun yang lalu. Menontonnya saat ini hanya membuat The Elephant
Man hadir sebagai sebuah drama sederhana yang dibalut visual hitam putih dengan
sedikit bumbu ala Lynch. Kisahnya sendiri terlalu klise dan mudah ditebak.
Namun tampaknya The Elephant Man adalah karya Lynch yang paling cocok untuk
ditonton terlebih dahulu sebelum kamu menonton film-filmnya yang lain, dan kita
tidak bisa tidak terpukau akan akting John Hurt sebagai The Elephant Man.
*mudah-mudahan
opini di atas tidak membuat pecinta The Elephants Man marah-marah*
Menurut saya ini adalah satu-satunya karya David Lynch dimana ia bisa menunjukan sensitivitas lewat kisah dan karakternya,jujur saya sendiri ikut tersentuh saat nonton film yg diangkat dr kisah nyata ini.
BalasHapusMemang kebanyakan film2 Lycnh itu kental dgn unsur surealisme, cenderung absurd & tdk mudah dipahami.btw nice review & salam kenal ya.
film "jumper" di bahas donk
BalasHapussama film "V for Vandetta" ^_^
Mantap
BalasHapus