Foxcatcher (2015)


 "I'm getting Dave. And I don't care how much it costs," 
- John Du Pont

RottenTomatoes: 88%
IMDb: 7,2/10
Metacritic: 81/100
NikenBicaraFilm : 4/5

Rated: R
Genre: Drama

Directed by Bennett Miller ; Produced by Megan Ellison, Bennett Miller, Jon Kilik, Anthony Bregman ; Written by E. Max Frye, Dan Futterman ; Starring Steve Carell, Channing Tatum, Mark Ruffalo, Vanessa Redgrave ; Music by Rob Simonsen ; Cinematography Greig Fraser ; Edited by Stuart Levy, Conor O'Neill, Jay Cassidy ; Production company Annapurna Pictures, Likely Story ; Distributed by Sony Pictures Classics ; Release dates May 19, 2014 (Cannes Film Festival), January 16, 2015 (United States) ; Running time 134 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $24 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bersetting tahun 80-an, seorang miliuner eksentrik John Du Pont (Steve Carrel) menjadi sponsor tim gulat Amerika yang disebutnya Foxcatcher yang dipimpin oleh atlet pemenang olimpiade Mark Schultz (Channing Tatum) dan kakaknya Dave Schultz (Mark Ruffalo).

Review / Resensi :
Dengan cerita mengenai olahraga gulat, mungkin kamu mengira bahwa Foxcatcher adalah sebuah sports drama movie yang penuh semangat dan keringat, namun yang kamu dapatkan justru sebaliknya. Kalau kamu sudah pernah mendengar tragedi yang menjadi inspirasi film ini, kamu akan tahu bahwa Foxcatcher adalah sebuah thriller drama yang kelam, panjang, dingin dan sebenarnya harus diakui - cukup membosankan. Ini bukan thriller yang benar-benar mencekam, namun Bennet Miller yang sebelumnya menjadi sutradara Capote (2005) dan Moneyball (2011) membawakan Foxcatcher dalam atmosfer yang terasa asing dan dingin - yang sedikit banyak akan membuatmu merasa tidak nyaman. If you never heard about John Du Pont or Schultz brothers, perhaps the best way to watch this movie is not googling about them before, so the ending might be a little surprise twist for you. 

Harus saya katakan bahwa Foxcatcher mungkin bukanlah film yang bisa dinikmati semua orang, karena jalinan kisahnya yang lambat membuat Foxcatcher berpotensi untuk membuat tertidur. Apalagi film ini begitu minim dialog dan tidak ada adegan klimaks yang benar-benar seru (padahal film ini tentang pria gagah memakai baju ketat dan bergulat!). Daripada dialog, tampaknya Foxcatcher lebih ingin menyampaikan ceritanya melalui bahasa non-verbal - melalui gestur sang aktor, sehingga keheningan yang ada sangat membosankan. Kalau saya tidak sibut berpikir apakah Mark Schultz (Channing Tatum) dan John Du Pont (Steve Carrel) terlibat hubungan romansa homoseksual atau tidak, saya mungkin sudah terlelap. Namun tampaknya memang inilah yang ingin disampaikan dan dibawakan Bennet Miller, membawa kita kepada dunia Du Pont - sang tokoh utama, miliuner eksentrik yang kesepian dan terisolasi dari dunia luar. Sepi, dingin dan kelam.

The first thing that came up to most people after watch this movie is: "Oh, Steve Carrel can act serious!". Sebenarnya ini bukan film Steve Carrel pertama dimana ia menjadi karakter yang serius - doi pernah main jadi pria depresif di Little Miss Sunshine (2006), namun tampaknya ini adalah filmnya yang benar-benar film serius. Komedian yang terkenal berkat film The 40-Year-Old-Virgin (2005) dan Crazy Stupid Love (2011) ini nyaris tidak bisa dikenali sebagai dirinya di Foxcatcher, berkat special make-up yang membuat siluet wajahnya berbeda. Namun tidak itu saja, Steve Carrel juga memberikan gestur dan akting yang sangat berbeda - membuat dirinya berhasil bertransformasi menjadi karakter John Du Pont seutuhnya yang angkuh, dingin, anti-sosial, eksentrik dan obsesif. Lihat bagaimana caranya berdiri dan berjalan dengan tangan di belakang, berbicara dengan gaya bicara yang pelan dan sedikit meninggi, serta kepalanya yang sedikit mendongak - Steve Carrel memberikan aura dan akting maksimal dalam menghidupkan karakter John Du Pont.  Hal yang wajar sehingga akhirnya Steve Carrel mendapat nominasi Best Actor di Academy Awards tahun ini. Just for fun trivia, dinominasikannya Steve Carrel di piala Oscar juga menjadi prestasi tersendiri bagi Bennet Miller, karena pada 2 filmnya sebelumnya Capote dan Moneyball, para aktornya juga berhasil mendapatkan nominasi di katagori yang sama di ajang paling bergengsi di dunia perfilman itu, bahkan Phillip Seymour Hoffman menjadi Best Actor berkat perannya sebagai Truman Capote. 

Tidak hanya Steve Carrel yang berakting sempurna, namun juga Mark Ruffalo dan Channing Tatum yang memberikan salah satu akting terbaik selama karir mereka. Kekuatan akting mereka tidak hanya hadir melalui postur tubuh yang sudah mirip pegulat, atau dukungan make up yang membuat wajah mereka sedikit berubah, namun juga bagaimana cara keduanya menghidupkan karakter mereka melalui bahasa tubuh. Saya mengenali bagaimana cara berjalan Channing Tatum yang berbeda - sedikit mengangkang, entahlah, mungkin itu cara berjalan pegulat - maupun bagaimana Mark Ruffalo menggosok - gosok dagunya saat berbicara. Sebuah detail sederhana namun menjadi salah satu bukti bagaimana totalitas keduanya dalam menghidupkan karakter mereka masing-masing. Chemistry keduanya sebagai kakak beradik juga tampak jelas terlihat dan tersampaikan dengan baik. 

Dari sisi sinematografi, Foxcatcher memberikan atmosfer yang sesuai dengan mood film yang ingin dibangun: dingin, kelam dan thrilling. Melalui sudut pengambilan gambar jauh dengan ruangan yang terasa kosong dan tone warna cenderung kebiruan, Foxcatcher menawarkan sensasi suasana yang sepi dan perasaan kesepian. Ini memang film yang hening dan boring, namun Bennet Miller entah bagaimana membuat kita tidak bisa berhenti menontonnya, karena kita memang menunggu jawaban dari pertanyaan bagaimana film membosankan ini akan berakhir? Dan ending yang tidak terduga itu (jika kamu memang belum membaca berita tentang kisah nyata yang menginspirasi film ini), adalah bayaran yang pantas bagi kita yang dengan sabar menunggu film ini berakhir.

Overview:
Foxcatcher adalah sebuah thriller drama yang terasa asing dan dingin. Sebuah film yang berpotensi membosankan dan datar, namun seandainya jika kamu mampu menontonnya dengan perspektif berbeda, maka Foxcatcher adalah sebuah film thriller yang brilian. Kekuatan Foxcatcher tidak hanya ada pada Bennet Miller sebagai sutradara, namun juga ketiga aktor utamanya yang mampu menghidupkan karakter masing-masing dengan sangat baik, terutama Steve Carrel yang nyaris tidak dikenali sebagai komedian yang biasanya kamu kenal. 

Random Note:
Watch out.
MAJOR SPOILER AHEAD.

So, why John Du Pont suddenly killed Dave Schultz?

Sebuah ending yang tidak terduga, dan menimbulkan banyak pertanyaan bagi siapa saja yang telah menontonnya. Termasuk saya yang merasa frustasi ketika hal itu terjadi - karena saya sama sekali nggak menyangka. Jawaban pasti dari pertanyaan ini mungkin tidak akan pernah kita ketahui, karena the real John Du Pont sudah meninggal di penjara, dan bahkan dirinya sendiri melakukan pembelaan mentally ill saat mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Dan mungkin jawabannya bisa sangat sederhana dan tidak memuaskan, tidak konkrit dan tidak logis, seperti alasan Kevin kenapa melakukan pembunuhan massal di film We Need To Talk About Kevin (he told her mother, he think he knew, but he wasn't sure why he killed). Terlepas dari itu semua, setidaknya berdasarkan film Foxcatcher, menurut saya Bennet Miller memberikan jawabannya -versi film- secara implisit:

Saya pikir Du Pont membunuh Dave karena ia iri pada Dave. John adalah karakter yang kesepian, dan berupaya mendapatkan penghargaan dan validasi dari ibunya. Hidupnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hidup Mark - yang juga tengah berusaha melepaskan bayang-bayang dirinya dari sang kakak, Dave - dan itulah yang kemudian membuatnya Du Pont dan Mark merasa dekat. Namun ketika Mark tidak cukup memberikan penampilan terbaik, Du Pont yang terobsesi untuk menang berusaha mendapatkan Dave - dan ini memicu pertengkaran antara Du Pont dan Mark. Kemudian Du Pont merasa bahwa ia tidak memiliki hubungan yang konkrit sebagaimana yang dimiliki oleh kakak beradik Mark dan Dave, dimana sebelumnya kedua kakak beradik ini bertengkar namun dengan cepat dapat kembali berbaikan, dan ini membuatnya makin merasa kesepian. Ia juga menyadari bahwa ia bukanlah pelatih dan pemimpin yang handal seperti Dave. Ia bahkan tidak memiliki keluarga menyenangkan yang dimiliki oleh Dave. Intinya, Dave memiliki segalanya yang Du pont tidak punya. Dan kemudian (menurut saya),  pemicunya terjadi selepas Du Pont menonton film dokumenter propaganda yang menceritakan "kehebatan" dirinya sebagai pelatih Foxcatcher. Pada bagian endingnya, harusnya ada petikan wawancara Dave yang mengatakan bahwa Du Pont adalah pelatih yang baik - namun rupanya tidak ada karena Dave tidak bisa "berbohong" mengenai peran Du Pont selain sebagai penyandang dana. So, semua itu, ditambah pula bahwa Du Pont mungkin memang sakit secara mental, menjadi alasan mengapa akhirnya Du Pont menarik pelatuknya dan menghabisi nyawa Dave.

Komentar